Selasa, 19 Januari 2010

FILSAFAT PEMIKIRAN PLATO (Dampaknya Terhadap Perkembangan Pemikiran Filsafat Barat)


Oleh:
Ramli Semmawi

I
Pendahuluan

Filosof Yunani kuno Plato tak pelak lagi cikal bakal filosof politik Barat dan sekaligus dedengkot pemikiran etika dan metafisika mereka. Pendapat-pendapatnya di bidang ini sudah terbaca luas lebih dari 2300 tahun. Tak pelak lagi, Plato berkedudukan bagai bapak moyangnya pemikir Barat, Plato dilahirkan dari kalangan famili Athena kenamaan sekitar tahun 427 SM. Di masa remaja dia berkenalan dengan filosof kesohor Socrates yang jadi guru sekaligus sahabatnya. Tahun 399 SM, tatkala Socrates berumur tujuh puluh tahun, dia diseret ke pengadilan dengan tuduhan tak berdasar berbuat brengsek dan merusak akhlak angkatan muda Athena. Socrates dikutuk, dihukum mati. Pelaksanaan hukum mati Socrates—yang disebut Plato "orang terbijaksana, terjujur, terbaik dari semua manusia yang saya pernah kenal"—membikin Plato benci kepada pemerintahan demokratis (Hatta, 1986: 88).
Tak lama sesudah Socrates mati, Plato pergi meninggalkan Athena dan selama sepuluh-duabelas tahun mengembara ke mana kaki membawa. Sekitar tahun 387 SM dia kembali ke Athena, mendirikan perguruan di sana, sebuah akademi yang berjalan lebih dari 900 tahun. Plato menghabiskan sisa umurnya yang empat puluh tahun di Athena, mengajar dan menulis ihwal filsafat. Muridnya yang masyhur, Aristoteles, yang jadi murid akademi di umur tujuh belas tahun sedangkan Plato waktu itu sudah menginjak umur enam puluh tahun. Plato tutup mata pada usia tujuh puluh.
Plato menulis tak kurang dari tiga puluh enam buku, kebanyakan menyangkut masalah politik dan etika selain metafisika dan teologi. Tentu saja mustahil mengikhtisarkan isi semua buku itu hanya dalam beberapa kalimat. Tetapi, dengan risiko menyederhanakan pikiran-pikirannya, saya mau coba juga meringkas pokok-pokok gagasan politiknya.yang dipaparkan dalam buku yang kesohor, Republik, yang mewakili pikiran-pikirannya tentang bentuk masyarakat yang menurutnya ideal. Bentuk terbaik dari suatu pemerintahan, usul Plato, adalah pemerintahan yang dipegang oleh kaum aristokrat. Yang dimaksud aristokrat di sini bukannya aristokrat yang diukur dari takaran kualitas, yaitu pemerintah yang digerakkan oleh putera terbaik dan terbijak dalam negeri itu. Orang-orang ini mesti dipilih bukan lewat pungutan suara penduduk melainkan lewat proses keputusan bersama. Orang-orang yang sudah jadi anggota penguasa atau disebut "guardian" harus menambah orang-orang yang sederajat semata-mata atas dasar pertimbangan kualitas.
Politeia en auton, bersemayamnya kecenderungan untuk hidup ber-polis dalam diri manusia. Bagi Plato, polis memang tidak dapat dilihat terlepas dari individu manusia, maupun sebaliknya manusia adalah polis yang kecil, sedangkan polis adalah manusia yang besar (Kusumohamidjojo, 2004: 35). Zaman (Yunani) kuno bermula pada abad ke-6 SM sampai abad ke-5 M, tatkala Kekaisaran Romawi runtuh (Darmodiharjo, 2004: 88). Pada awal zaman kuno ini, rakyat Yunani sudah hidup dalam polis-polis yang satu sama lain memiliki penguasa, sistem pemerintahan, dan sistem hukum tersendiri.
Semula penguasa polis memegang kekuasaan tunggal. Baru pada abad ke-5, setelah munculnya kaum Sofisme, polis-polis tersebut menerapkan prinsip-prinsip demokrasi. Tentu saja prinsip-prinsip itu masih belum matang, karena kepercayaan manusia yang masih sangat besar terhadap kekuatan supranatural, seperti keyakinan terhadap dewa-dewi Olimpus (Darmodiharjo, 2004: 88). Namun, Plato melihat bahwa kematian Socrates telah menjadi kegagalan kaum sofis merumuskan tujuan polis untuk memberikan keadilan.
Menurut Plato bentuk-bentuk pemerintahan yang mungkin dijalankan. Pada dasarnya, ada dua macam pemerintahan yang dapat diselenggarakan: pemerintahan yang dibentuk melalui jalan hukum, dan pemerintahan yang terbentuk tidak melalui jalur hukum. Jika pemerintahan terbentuk melalui jalan hukum dan dijalankan oleh shopia dari seseorang, bentuknya adalah monarcheia. Jika pemerintahan terbentuk oleh beberapa orang kita akan memperoleh aristokrasi (artinya adalah yang terbaik). Jika pemerintahan dijalankan demi kehormatan, maka yang terselenggara adalah timokratein. Sedangakan massa yang miskin yang berkuasa melalui jalan hukum akan membuat negara diperintah oleh demokrasi. Di samping ketiga bentuk pemerintahan yang baik itu, juga dimungkinkan tiga bentuk pemerintahan yang tidak baik karena dicapai tidak melalui jalur hukum: tirani (tyrannis) jika pemerintahan dipegang oleh satu orang saja; oligarki jika pemerintahan dikuasai oleh sekelompok orang, dan okhlokrasi jika pemerintahan dilaksanakan oleh massa (Kusumohamidjojo, 2004: 36-37).

II
Riwayat Hidup Plato

Plato (428-348 SM) adalah filsuf Yunani, lahir sebagai keluarga Aristokrat di Athena (Speake, 1984: 268). Semula ia ingin bekerja sebagai seorang politikus, akan tetapi kematian Socrates memadamkan ambisinya untuk menjadi politikus (Hadiwijono, 2006: 38). Pemikiran-pemikiran Plato sangat dipengaruhi oleh Scorates (Speake, 1984: 268), karena selama 8 tahun ia menjadi murid Socrates. Plato adalah seorang penulis yang imajinatif, dengan kecerdasan dan daya pukau yang luar biasa (Russel, 2006: 113). Banyak sekali karyanya yang masih utuh. Dari sekian karyanya yang paling populer ialah Apologia, Politeia, Sophistes, Timaois (Hadiwijono, 2006: 39).
Kematian Socrates sangat mempengaruhi pandangan Plato tentang negara. Socrates dihukum mati di Athena, yang menggunakan sistem pemerintahan demokratis (Russel, 2006: 101). Kematian tersebut berdampak pada diri Plato, sehingga dia mencoba mencari konsep negara yang ideal. Negara ideal menurut Plato tergambar dari konsep negara Sparta. Negara Sparta memiliki undang-undang yang rumit. Ada dua raja yang berasal dari keluarga yang berbeda, dan digantikan secara turun temurun. Salah satu raja memimpin pasukan di masa perang, namun di masa damai kekuasaannya dibatasi. Mereka menjadi anggota Dewan sesepuh, suatu lembaga yang terdiri dari tiga puluh orang (termasuk raja); dua puluh delapan anggota lainnya harus berusia lebih dari enam puluh tahun, dan diangkat seumur hidup oleh seluruh warganegara, namun hanya yang termasuk keluarga bangsawan (Russel, 2006: 130; Hatta, 1986: 89).
Selain raja, Dewan Sesepuh, dan Majelis, terdapat pula lembaga pemerintahan keempat yang khas Sparta, yakni lima ephor. Lembaga ini dipilih dari antara semua warganegara lewat metode diundi (Russel, 2006: 131). Para ephor inilah yang merupakan unsur “demokratis” dalam undang-undang Sparta, yang agaknya dimaksudkan untuk mengimbangi kekuasaan raja.
Plato begitu kagum dengan Sparta karena stabilitas negara tersebut. Sparta telah menjadi ideal bagi Plato karena selama periode yang panjang bangsa tersebut telah berhasil mencapai tujuan utamanya, yakni terciptanya suatu ras yang terdiri dari para serdadu yang tak tertaklukkan (Russel, 2006: 132). Plato pun, akhirnya, mengidealisasikan secara filosofis atas negara Sparta dalam karyanya “Republic” (Russel, 2006: 135). Kebesaran Lycurgus, yang bijak dan gagah perkasa dalam perang, menjadi sosok perpaduan raja-filsuf.

III
Epistemologi Pemikiran Plato

Plato dapat dikatakan sebagai filsuf pertama yang secara jelas mengemukakan epistemologi dalam filsafat, meskipun ia belum menggunakan secara resmi istilah epistemologi ini. Filsuf Yunani berikutnya yang berbicara tentang epistemologi adalah Aristoteles. Ia murid Plato dan pernah tinggal bersama Plato selama kira-kira 20 tahun di Akademia. Pembahasan tentang epistemologi Plato dan Aristoteles akan lebih jelas dan ringkas kalau dilakukan dengan cara membandingkan keduanya.
Idea merupakan inti dasar dari seluruh filsafat yang diajarkan oleh Plato. Ia beranggapan bahwa idea merupakan suatu yang objektif, adanya idea terlepas dari subjek yang berfikir. Idea tidak diciptakan oleh pemikiran individu, tetapi sebaliknya pemikiran itu tergantung dari idea-idea. Ia memberikan beberapa contoh seperti segitiga yang digambarkan di papan tulis dalam berbagai bentuk itu merupakan gambaran yang merupakan tiruan tak sempurna dari idea tentang segituga. Maksudnya adalah berbagai macam segitiga itu mempunyai satu idea tentang segitiga yang mewakili semua segitiga yang ada (Hatta, 1986: 97).
Dalam menerangkan idea ini Plato menerangkan dengan teori dua dunianya, yaitu dunia yang mencakup benda-benda jasmani yang disajikan pancaindera, sifat dari dunia ini tidak tetap terus berubah, dan tidak ada suatu kesempurnaan. Dunia lainnya adalah dunia idea, dan dunia idea ini semua serba tetap, sifatnya abadi dan tentunya serba sempurna. Idea mendasari dan menyebabkan benda-benda jasmani. Hubungan antara idea dan realitas jasmani bersifat demikian rupa sehingga benda-benda jasmani tidak bisa berada tanpa pendasaran oleh idea-idea itu. Hubungan antara idea dan realitas jasmani ini melalui 3 cara, pertama, idea hadir dalam benda-benda konkrit. Kedua, benda konkrit mengambil bagian dalam idea, disini Plato memperkenalkan partisipasi dalam filsafat. Ketiga, Idea merupakan model atau contoh bagi benda-benda konkrit. Benda-benda konkrit itu merupakan gambaran tak sempurna yang menyerupai model tersebut (Hatta, 1986: 102; Lorens Bagus, 1996: 851).
Pandangan tentang dunia, menurut Plato, Ada 2 dunia: dunia ide & dunia sekarang (semu) sementara dalam pandangan Aristoteles, Hanya 1 dunia: Dunia nyata yang sedang dijalani. Kenyataan sejati, menurut Plato, Ide-ide berasal dari dunia ide. Sementara dalam kacamata Aristoteles, segala sesuatu yang ada di alam bisa diindera.
Pandangan tentang manusia, menurut Plato, Terdiri dari badan dan jiwa. Jiwa abadi; badan fana (tidak abadi), Jiwa terpenjara oleh badan. Sementara dalam pandangan Aristoteles, badan dan jiwa sebagai satu kesatuan tak terpisahkan. Asal pengetahuan, menurut Plato, dunia ide, namun tertanam dalam jiwa setiap manusia. Sementara dalam pandangan Aristoteles, kehidupan dunia dan alam nyata. Cara meraih pengetahuan, menurut Plato, terpancar dari alam jiwa (Anamnesis). Sementara dalam pandangan Aristoteles, observasi dan abstraksi lalu diolah dengan logika.
Perbedaan epistemologi Plato dan Aristoteles ini memiliki pengaruh besar terhadap para filsuf modern. Idealisme Plato mempengaruhi filsuf-filsuf Rasionalis seperti Spinoza, Leibniz, dan Whitehead. Sedangkan pandangan Aristoteles tentang asal dan cara memperoleh pengetahuan mempengaruhi filsuf-filsuf Empiris seperti Locke, Hume, dan Berkeley.
Antara abad 17 hingga akhir abad ke-19, masalah utama yang muncul dalam pembahasan epistemologi adalah resistensi antara kubu rasionalis vis-à-vis kubu empiris (inderawi-persepsi). Filsuf Francis, René Descartes (1596-1650), filsuf Belanda, Baruch Spinoza (1632-1677), dan filsuf Jerman, Wilhelm Leibniz (1646-1716) adalah para pemimpin kubu rasionalis. Mereka berpandangan bahwa sumber utama dan pengujian akhir ilmu pengetahuan adalah logika deduktif (baca: qiyas) yang bersandarkan kepada prinsip-prinsip swabukti (badihi) atau axioma-axioma. Sementara orang-orang seperti, Francis Bacon ( 1561-1626) and John Locke (1632-1704) keduanya adalah filsuf Inggris berkeyakinan bahwa sumber utama dan pengujian akhir ilmu pengetahuan adalah bersandar kepada pengalaman, persepsi dan inderawi.
Filsuf Francis René Descartes secara rigoris menggunakan metode deduksi dalam jelajah filsafatnya. Barangkali Descartes ini dikenal baik atas karya pionirnya untuk bersikap skeptis dalam berfilsafat. Dialah yang pertama kali memperkenalkan metode sangsi dalam investigasi terhadap ilmu pengetahuan.
Descartes yang kerap disebut sebagai Bapak Filsafat Modern (sekaligus filsafatnya kemudian dikenal sebagai Cartesians) ini dalam mengusung metode rasionalnya, dia menggunakan metode sangsi dalam menyikapi pelbagai fenomena atau untuk mencerap ilmu pengetahuan. Postulat, Cogito Ergo Sum adalah milik Descartes. Rumusan postulat ini yang menemaninya untuk menyingkap ilmu pengetahuan. Menurut Descartes segala sesuatu yang berada di dunia luar harus disangsikan dan diragukan.
Pandangan Descartes tentang manusia bersifat dualisme. Ia melihat manusia sebagai dua substansi: jiwa dan tubuh. Jiwa adalah pemikiran dan tubuh adalah keluasan. Tubuh tidak lain adalah suatu mesin yang dijalankan jiwa. Hal ini dipengaruhi oleh epistemologinya yang memandang rasio sebagai hal yang paling utama pada manusia. Empirisme pertama kali diperkenalkan oleh filsuf dan negarawan Inggris Francis Bacon pada awal-awal abad ke-17, akan tetapi John Locke yang kemudian mendesainnya secara sistemik yang dituangkan dalam bukunya “Essay Concerning Human Understanding (1690). John Locke memandang bahwa akal manusia pada awal lahirnya adalah ibarat sebuah tabula rasa, sebuah batu tulis kosong tanpa isi, tanpa pengetahuan apapun. Lingkungan dan pengalamanlah yang menjadikannya berisi. Pengalaman inderawi menjadi sumber pengetahuan bagi manusia dan cara mendapatkannya lewat observasi dan pemanfaatan seluruh indera manusia. John Locke adalah orang yang tidak percaya terhadap konsepsi intuisi dan batin. Filsuf empirisme lainnya adalah Hume. Ia memandang manusia sebagai sekumpulan persepsi (“a bundle or collection of perceptions”). Manusia hanya mampu menangkap kesan-kesan saja lalu menyimpulkan kesan-kesan itu seolah-olah berhubungan. Pada kenyataannya, menurut Hume, manusia tidak mampu menangkap suatu substansi. Apa yang dianggap substansi oleh manusia hanyalah kepercayaan saja. Begitu pula dalam menangkap hubungan sebab-akibat. Manusia cenderung menganggap dua kejadian sebagai sebab dan akibat hanya karena menyangka kejadian-kejadian itu ada kaitannya, padahal kenyataannya tidak demikian. Selain itu, Hume menolak ide bahwa manusia memiliki kedirian (self). Apa yang dianggap sebagai diri oleh manusia merupakan kumpulan persepsi saja.

IV
Negara Ideal Menurut Plato

Dalam buku Politeia Plato melukiskan suatu model tentang negara yang adil. Negara harus diatur secara seimbang menurut bagian-bagiannya, supaya adil. Dalam negara macam itu tiap-tiap golongan mempunyai tempat alamiahnya. Timbullah keadilan, bila tiap-tiap kelompok (filsuf, tentara, pekerja) berbuat apa yang sesuai dengan tempatnya dan tugasnya (Huijbers, 2007: 23).
Plato percaya bahwa bagi semua orang, entah dia lelaki atau perempuan, mesti disediakan kesempatan memperlihatkan kebolehannya selaku anggota "guardian". Plato merupakan filosof utama yang pertama, dan dalam jangka waktu lama nyatanya memang cuma dia, yang mengusulkan persamaan kesempatan tanpa memandang kelamin. Untuk membuktikan persamaan pemberian kesempatannya, Plato menganjurkan agar pertumbuhan dan pendidikan anak-anak dikelola oleh negara. Anak-anak pertama-tama kudu memperoleh latihan fisik yang menyeluruh, tetapi segi musik, matematika dan lain-lain disiplin akademi tidak boleh diabaikan. Pada beberapa tahap, ujian ekstensif harus diadakan. Mereka yang kurang maju harus diaalurkan untuk ikut serta terlibat dalam kegiatan ekonomi masyarakat, sedangkan orang-orang yang maju harus terus melanjutkan dan menerima gemblengan latihan. Penambahan pendidikan ini harus termasuk bukan cuma pada mata pelajaran akademi biasa, tetapi juga mendalami filosofi yang oleh Plato dimaksud menelaah doktrin bentuk ideal faham metafisikanya.
Pada usia tiga puluh lima tahun, orang-orang ini yang memang sudah betul-betul meyakinkan mampu menunjukkan penguasaannya di bidang teori-teori dasar, harus menjalani lagi tambahan latihan selama lima belas tahun, yang mesti termasuk bekerja mencari pengalaman praktek. Hanya orang-orang yang mampu memperlihatkan bahwa mereka bisa merealisir dalam bentuk kerja nyata dari buku-buku yang dipelajarinya dapat digolongkan kedalam "kelas guardian." Lebih dari itu, hanya orang-orang yang dengan jelas bisa. menunjukkan bahwa minat utamanya adalah mengabdi kepada kepentingan masyarakatlah yang bisa diterima ke dalam. "kelas guardian."
Plato menyarankan sistem komunisme sepenuhnya bagi kelas pemimpin, dan juga untuk kelas serdadu. Para pemimpin hendaknya menempati rumah kecil dan mengkonsumsi makanan sederhana; mereka hendaknya hidup dalam asrama, makan bersama-sama secara berkelompok (Russel, 2004: 150). Kemelaratan dan kekayaan merupakan sesuatu yang berbahaya, dan dalam negeri Plato keduanya tidak boleh ada (Russel, 2004: 150). Pemikiran Plato tersebut sangat mencerminkan bahwa dia terpangaruh oleh konsep negara Lycurgus. Lycurgus, menurut Plutarchus, benar-benar mengatur warga-negaranya sedemikian rupa sehingga mereka tak menghendaki dan tak bisa hidup sendirian, kecuali hidup dalam keadaan di mana manusia saling terikat satu sama lain, dan senantiasa berkelompok bersama-sama, seperti lebah-lebah yang senantiasa terikat dengan ratunya (Russel, 2006: 139).
Dalam konteks doktrin ide Plato, ide keadilan bisa ditunjukkan dalam kaitannya dengan ide tentang polis, karena perenungan gagasan tentang polis ini menghasilkan sebuah citra di mana hukum dan perundangan nyaris tidak memainkan peran sama sekali. Pemikiran Plato tentang polis sangat dicirikan dengan kekuasaan filsuf-raja (Friedrich, 2004: 19).
Lebih lanjut untuk mengefektifkan kelembagaan kenegaraan, Plato membagi penduduk dalam tiga golongan:
1. Golongan Bawah, yaitu golongan rakyat jelata, yang merupakan petani, tukang dan saudagar. Kerja mereka adalah menghasilkan keperluan sehari-hari bagi ketiga golongan. Mereka merupakan dasar ekonomi bagi masyarakat. Karena mereka menghasilkan mereka tidak boleh ikut serta dalam pemerintahan. Seabagai golongan ayang berusaha mereka boleh mempunyai hak milih dan harta boleh berumah tangga sendiri.
2. Golongan tengah, yaitu penjaga atau pembantu dalam urusan negara. Tugas mereka adalah mempertahankan negara dari serangan musuh. Dan menjamin supaya undang-undang dipatuhi oleh rakyat. Dasr kerjanya mengabdi kepada negara. Oleh karena itu mereka tinggal bersama dalam asrama dan tidak boleh berkeluarga. Hidup mereka didasarkan atas perbaikan jenis manusia dan hubungan mereka dengan perempuan diatur oleh negara dengan pengawasan yang rapih. Anak yang lahir dari hubungan mereka dipugut dan dididik oelh negara. Anak itu tidak tahu saiap bapaknya dan siapa ibunya. Semua anak yang lahir mengaku satu sama lain bersaudara berkakak adik. Taip orang alaki-laki dipandang bapak dan tiap wanita dipandang ibu. Dengan begitu diharapkan akan timbul rasa persaudaraan antara segala manusia.
3. Golongan Atas, yaitu kelas pemerintah atau filosof. Mereka terpilih dari yang cakap dan terbaik dari kelas penjaga, setelah menempuh pendidikan dan latihan yang spesial. Tugas mereka adalah membuat undang-undang dan mengawasi pelaksanaanya. Mereka memangku jabatan yang tertinggi. Selain itu mereka mempergnakan waktu luang untuk memperdalam filosofi dan ilmu pengetahuan tentang idea kebaikan. Mereka harus menyempurnakan budi yang tepat bagi golongan mereka yaitu budi kebijaksanaan (Hadiwijono, 2006: 44; Lorens Bagus, 1996, 852).
Dalam negara yang ideal golongan pengusaha menghasilkan tetapi tidak memerintah. Golongan penjaga melindungi tapi tidak memerintah. Golongan cerdik pandai di beri makan dan dilindungi dan mereka memerintah. Ketiga macam budi yang dimiliki masing-masing golongan yaitu bijaksana berani dan menguasai diri dapat menyelenggarakan dengan kerja sama budi keempat bagi masyarakat yaitu keadilan.
Ketika Plato menulis dialog yang dikenal berjudul politeia, atau “konstitusi” (bukan republik) (Friedrich, 2004: 19), dia yakin bahwa ini merupakan problema yang sangat sulit, namun bukan berarti tidak dapat dipecahkan. Plato yakin solusinya ialah bahwa filsuf mesti menjadi penguasa atau filsuf penguasa, atau orang-orang yang mengupayakan kearifan melalui pemahaman sejati mengenai gagasan. Dia yakin bahwa jika kebetulan seseorang yang memiliki kekuasaan tak terbatas dalam sebuah polis bertemu dengan pencari kearifan itu, penciptaan masyarakat yang benar-benar baik bisa diharapkan terlaksana. Plato, seperti diketahui, mengupayakannya sendiri dan bertindak sejalan dengan keyakinan ini ketika dia menerima undangan dari rekannya Dion untuk bekerja pada Dionysius I dan Dionysius II Syracuse dengan harapan akan menciptakan polis Syracuse dalam gambarannya. Namun usaha itu gagal (Friedrich, 2006: 20).
Akibatnya, Plato kemudian kembali kepada doktrin Yunani tradisional yang menyatakan bahwa tatanan polis yang baik hanya bisa diwujudkan dengan membuat peraturan mendasar atau nomos. Namun nomos ini dipandang Plato sebagai partisipasi dalam gagasan keadilan, dan melalui partisipasi ini ia pada gilirannya berperanserta dalam gagasan kebijakan. Sebuah polis bukanlah gagasan itu sendiri, melainkan ia “berpartisipasi” dalam gagasan itu (Friedrich, 2004: 20). Plato menyatakan tujuan hidup ialah eudaimonia atau hidup lebih baik (Hadiwijono, 2006: 43).
Keadilan menurut Plato, bahwa negara harus diselenggarakan menurut cara-cara tradisional, atau menurut cara yang ia anjurkan, untuk dapat merealisasikan sejumlah cita-cita etis seutuhnya. Dikatakan bahwa keadilan terwujud pada kenyataan di mana setiap orang menjalankan tugasnya masing-masing. Di negara yang tak mengalami perubahan dari generasi ke generasi, seperti di Mesir purba dan kerajaan Inca, tugas seseorang tak berbeda dengan tugas ayahnya, dan tak ada persoalan yang timbul. Namun, di negara yang dibayangkan Plato tak seorang pun yang mempunyai ayah yang resmi. Tugas warganegara dengan demikian harus ditentukan baik berdasarkan seleranya sendiri atau berdasarkan keputusan negara sesuai dengan bakatnya. Pilihan kedua inilah yang dikehendaki Plato (Russel, 2004:155).
Plato menjelaskan tentang otoritas hukum, dengan memberi contoh, bahwa hukum yang mengatur manusia untuk menikah sebelum usia tiga puluh lima tahun harus diimplementasikan dengan sebuah pembukaan (preambule) yang menjelaskan perlunya kepala rumah tangga demi keberlangsungan masyarakat (Friedrich, 2004: 22). Penjelasan yang demikianlah inilah, hukum dapat ditegakkan dan dijaga. Gambaran hukum tersebut mencerminkan bagaimana pengaruh Sparta terhadap pemikirannya tentang negara.
Pemikiran yang dituangkannya dalam Republic terbaca luas selama berabad-abad. Tetapi harus dicatat, sistem politik yang dianjurkan didalamnya belum pernah secara nyata dipraktekkan sebagai model pemerintahan mana pun. Selama masa antara jaman Plato hingga kini, umumnya negara-negara Eropa menganut sistem kerajaan. Di abad-abad belakangan ini beberapa negara menganut bentuk pemerintah demokratis. Ada juga yang menganut sistem pemerintahan militer, atau di bawah tiran demagog seperti misalnya Hitler dan Mussolini. Tak satu pun pemerintahan-pemerintahan ini punya kemiripan dengan republik ideal Plato. Teori Plato tak pernah jadi anutan partai politik mana pun, atau jadi basis gerakan politik seperti halnya terjadi pada ajaran-ajaran Karl Marx, apakah dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa hasil karya Plato, kendati diperbincangkan dengan penuh penghargaan, sebenarnya sepenuhnya disisihkan orang dalam praktek? Saya pikir tidak.
Memang benar, tak satu pun pemerintahan sipil di Eropa disandarkan atas model Plato secara langsung. Namun, terdapat persamaan yang mengagumkan antara posisi gereja Katolik di Eropa abad tengah dengan "kelas guardian" Plato. Gereja Katolik abad pertengahan terdiri dari kaum elite yang mempertahankan diri sendiri agar tidak layu dan tersisihkan, yang anggota-anggotanya mendapat latihan-latihan filosofis resmi. Pada prinsipnya, semua pria, tak peduli dari mana asal-usulnya dapat dipilih masuk kependetaan (meski tidak untuk wanita). Juga pada prinsipnya, para pendeta itu tak punya famili dan memang diarahkan semata-mata agar mereka memusatkan perhatian pada kelompok mereka sendiri, bukannya nafsu keagungan disanjung-sanjung.
Peranan partai Komunis di Uni Soviet juga ada yang membandingkannya dengan "kelas guardian" Plato dalam dia punya republik ideal. Di sini pun kita temukan kelompok elite yang kesemuanya terlatih dengan filosofi resmi. Gagasan Plato juga mempengaruhi struktur pemerintahan Amerika Serikat. Banyak anggota konvensi konstitusi Amerika mengenal dan tak asing dengan gagasan-gagasan politik Plato. Dia maksud, sudah barang tentu, agar Konstitusi Amerika Serikat membuka kemungkinan menggali dan mempengaruhi kehendak rakyat. Dan juga diinginkan sebagai sarana memilih orang-orang yang paling bijak dan paling baik untuk memerintah negara.
Kesulitan menentukan arti penting pengaruh Plato sepanjang masa—meski luas dan menyebar—adalah ruwet dipaparkan dan bersifat tidak langsung. Sebagai tambahan teori politiknya, diskusinya di bidang etika dan metafisika telah mempengaruhi banyak filosof yang datang belakangan. Apabila Plato ditempatkan pada urutan sedikit lebih rendah ketimbang Aristoteles dalam daftar sekarang ini, hal ini terutama lantaran Aristoteles bukan saja seorang filosof melainkan pula seorang ilmuwan yang penting. Sebaliknya, penempatan Plato lebih tinggi urutannya ketimbang pemikir-pemikir seperti John Locke, Thomas Jefferson dan Voltaire, sebabnya lantaran tulisan-tulisan ihwal politiknya mempengaruhi dunia cuma dalam jangka masa dua atau tiga abad, sedangkan Plato punya daya jangkau lebih dari dua puluh tiga abad.
Lebih lanjut Plato menjelaskan, legislasi atau penyusunan undang-undang yang hanya melayani kepentingan kelompok dia dianggap sebagai sesuatu yang wajar, namun dia tidak menganggapnya sebagai legislasi yang berkualitas hukum sejati. Dalam pernyataan yang mengarah kepada hukum alam, Plato menemukan landasan untuk menegaskan bahwa pemerintah hanyalah pelayan hukum (Friedrich, 2004: 22). Segala kebaikan yang telah dipersiapkan oleh tuhan bagi komunitas sejati, yakni kebahagiaan sejati warga negara, hanya bisa diwujudkan dalam negara di mana “hukum adalah penguasa atas penguasa” (Friedrich, 2004: 22), atau dengan kata lain, negara yang yang pemerintahannya tunduk kepada hukum. Karena hukum merupakan sarana untuk memastikan bahwa manusia tidak hanya hidup namun juga hidup sejahtera (eu zen) dan menjadi seluhur mungkin. Plato menyatakan, bahwa hukum dan perundang-undangan merupakan objek dari spekulasi filosofis yang bebas, dan keduanya hanya bisa diperoleh dari nalar dan gagasan tentang kebaikan. Bahkan hukum yang benar hanyalah perkiraan tentang kebenaran abadi (Friedrich, 2004: 23).
Bahwa Plato menekankan kepada kebenaran yang di luar dunia ini, hal itu tidak berarti, bahwa ia bermaksud melarikan diri dari dunia. Dunia yang kongkrit ini dianggap penting juga. Hanya saja, hal yang sempurna tidak dapat dicapai di dalam dunia ini. Namun kita harus berusaha hidup sesempurna mungkin. Hal ini tampak ajarannya tentang negara. Dapat dikatakan bahwa seluruh usahanya dimaksudkan untuk memperbaiki negara. Pemikiran filsafat hukum dan negara Plato terkait erat dengan etika (Friedrich, 2004: 18). Tugas-tugas etis manusia dikaitkan dengan kedudukannya sebagai warga negara (Hadiwijono, 2006: 43).
Persoalan pokok di dalam negara ialah keselamatan para orang yang diperintah, bukan keselamatan para orang yang memerintah (Hadiwijono, 2006: 43). Para orang yang memerintah harus mempersembahkan hidup mereka bagi pemerintahan, dengan mengorbankan kepentingan diri sendiri.
Tugas para negarawan adalah menciptakan keselarasan antara semua keahlian, agar supaya keselarasan itu terjamin. Umpamanya: jenderal harus pandai berperang, negarawan harus pandai memutuskan bilamana orang harus berperang, hakim harus pandai mengadili yang baik, dan sebagainya.

V
Etika Menurut Plato

Pendapat Plato seterusnya tentang etik bersendi ada ajarannya tentang idea. Dualisme dunia dalam teori pengetahuan diteruskannya ke dalam praktik hidup. Oleh karena kemauan seorang bergantung kepada pendapatnya, nilai kemauannya itu ditentukan pula oleh pendapat itu. dari pengetahuan yang sebenarnya yang dicapai dengan dialektik timbul budi yang lebih tinggi daripada yang dibawakan oleh pengetahuan dari pandangan. Jadinya, menurut plato ada 2 macam budi. Pertama, budi filosofi yang timbul dari pengetahuan dengan pengertian. Kedua, budi biasa yang terbawa oleh kebiasaan orang banyak. Sikap hidup yang dipakai tidak terbit dari keyakinan, melainkan disesuaikan kepada moral orang banyak dalam hidup sehari-hari. Negara Ideal : Pandangan plato tentang negara dan luasnya masih terpaut pada masanya. Ia lebih memandang kebelakang dari pada kemuka. Negara Grik di masa itu ialah kota. Jumlah penduduknya tidak lebih daripada dua atau tiga ribu jiwa. Penduduk kota ialah orang-orang merdeka, yang mempunyai milik tanah terletak diluar kota yang dikerjakan oleh budak-budaknya. Diantara mereka terdapat saudagar, tukang, pandai seni dan pejabat negara. Menurut kebiasaan di waktu itu pekerjaan yang kasar dikerjakan oleh budak belian. Mereka itu tidak dianggap sebagai penduduk sebab tidak merdeka (Hadiwijono, 2006: 43; Hatta, 1986: 106).
Plato berpendapat bahwa dalam tiap-tiap negara segala golongan dan segala orang-orang seorang adalah alat semata-mata untuk kesejahteraan semuanya. Kesejahteraan semua itulah yang menjadi tujuan yang sebenarnya. Dan itu pulalah yang menentukan nilai pembagian pekerjaan. Dalam negara yang ideal itu glongan pengusaha menghasilkan, tetapi tidak memerintah. Golongan penjaga melindungi, tetapi tidak memerintah. Golongan cerdik pandai, diberi makan dan dilindungi, dan mereka memerintah. Ketiga macam budi yang dimiliki oleh masing-masinggolongan, yaitu bijaksana, berani dan menguasai diri dapat menyelenggarakan dengan kerjasama budi keempat bagi masyarakat, yaitu keadilan. Sumbangan bagi Perkembangan Logika : Pertama, karangan-karangan yang ditulisnya dalam masa mudanya yaitu waktu sokrates masih hidup sampai tak lama sesudah ia meninggal. Buku-buku yang di tulisnya pada masa itu adalah Apologie, Kriton, Ion, Protagoras, Laches, Politeia Buku I, Lysis, Charmides dan Euthyphron. Dalam seluruh dialog itu plato berpegang pada pendirian gurunya sokrates (Hatta, 1986: 107).
Dalam buku-buku itu tidak terdapat buah pikiran plato yang timbul kemudian yang menjadi corak filosofinya., yaitu ajaran tentang idea. Cita-cita yang dikemukakan dalam tulisannya di masa itu ialah pembentukan pengertian dalam daerah etik. Kedua, buah tangan yang ditulisnya dalm masa yang terkenal sebagai “masa peralihan”. Masa itu disebut juga masa Negara, yaitu waktu plato tinggal sementar disitu. Dialog-dialog yang diduga ditulisnya dalam masa itu ialah Gorgias, Kratylos, Menon, Hippias dan beberapa lainnya. Perkembangan pikiran plato keluar garis sokrates. Pada vajaran sokrates, yang mencari pengertian disambungkan pendapat filosofi sebelumnya terutama pendirian orfisisme dan Pythagoras. Dalam beberapa dialog tergambar pendapat plato ten tang hidup sebelum lahir ke dunia dan tentang jiwa yang hidup selama-lamanya. Disini terdapat permulaan pikirannya ke jurusan idea, yang kemudian menjadi pusat pandangan filosofinya. Ketiga, buah tangan yang disiapkannya di masa matangnya. Tulisannya yang terkenal dari waktu itu dan kesohor sepanjang masa ialah Phaidros, Symposion, Phaidon dan Politeia Buku II-X. ajaran tentang idea menjadi pokok pikiran plato dan menjadi dasar bagi teori pengetahuan, metafisika, fisika, psikologi, etik, politik, dan estetika. Terutama dalam Phaidros menjadi perkembangan pikiran yang terang. Berdasarkan pandangan agama yang terpengaruh oleh ajaran orfisme dan phytagoras, ia menggambarkan sifat dan nasib jiwa manusia. Dalam bukunya politea (republik) yang diciptakannya dari masa ke masa tergambar perkembangan filosofinya dari mencari penetapan ten tang pengertian sampai pad memahamkan keadaan dalam dunia yang lahir dari jurusan idea yang kekal. Keempat, buah tangan yang ditulis pada hari tuannya (Hatta, 1986: 94).
Dialog-dialog yang dikarangnya pada masa itu sering disebut Theaitetos, Parmenides, Sophistos, Politicos, Philibos, Timaios, Kritias, dan Nomoi. Tetapi ada ahli-ahli yang menyaksikan keaslian dari beberapa dialog itu. apakah dialog no.2,3,4 dan 5 dalam urutan ini benar-benar ditulis oleh plato?. Mungkin dialog-dialog itu dikarang oleh murid-muridnya berdasarkan uraian dan pelajaran yang diberikannya. Ada suatu perubahan yang nyata dalam uraiannya pada masa itu. idea, yang biasanya meliputi seluruhnya, terletak sedikit kebelakang. Kedudukan logika lebih terkemuka. Perhatian kepada keadaan yang lahir dan kejadian dalam sejarah bertambah besar. Untuk memahamkan isi Timaios seluruhnya orang harus mempunyai pengetahuan lebih dahulu ten tang ilmu-ilmu special, terutama ilmu alam dan ilmu kesehatan. Dengan uraian yang terbentang dalam dialog itu plato membawa pembacanya ke daerah kosmologi dan filosofi alam. Dialog itu menunjukkan bahwa plato bukan saja seorang filosof yang menguasai seluruh filosofi Grik sebelumnya, tetapi juga mempelajari berbagai ilmu special yang diketahui pada masanya. Dalam pikirannya semua itu tersusun kea rah satu tujuan. Timaios boleh dikatakan suatu ajaran teologi tentang lahirnya dunia dan pemerintahan dunia. Paham plato ten tang pembentukan dunia ini berdasar pada pendapat Empedokles, bahwa ala mini tersusun dari empat anasir yang asal, yaitu api, udara, air, dan tanah. Tetapi ten tang proses pembangunan seterusnya berlanan pendapatnya. Menurut Plato Tuhan sebagai pembangun alam menyusur anasir yang empat itu dalam berbagai bentuk menjadi satu kesatuan. Kedalam bentuk yang satu itu Tuhan memasaukjkan jiwa dunia yang akan menguasai dunia ini. Oleh karena itu pembangunan dunia sekaligus menentukan sikap hidup manusia dalam dunia ini (Hatta, 1986: 95-96).
Plato mungkin merasakan kemudian, bahwa ideal itu sukar dilaksanakan. Dalam bagian kedua hidupnya ia berpaling ke jalan yang kedua. Sungguhpun bangunan-bangunan tiruan dari idea jauh lebih sempurna, sikap hidup diatur sedemikian rupa, supaya dunia yang lahir “ikut serta” pada idea. Cara itu dibentangkan di dalam bukunya Republik, dengan menciptakan suatu negara ideal.

VI
Kesimpulan

Plato dilahirkan di Athena pada tahun 472 SM dan meninggal pada tahun 347 SM dalam usia 80 tahun. Plato adalah murid Socrates yang paling terkemuka yang sepenuhnya menyerap ajaran-ajaran pendidikan Socrates, kemudian mengembangkannya sistem filsafatnya sendiri secara lengkap. Plato mendirikan sebuah akademi untuk study tentang gagasan-gagasan yang akhirnya telah tumbuh menjadi suatu universitas pertama di dunia. Sejak berumur 20 tahun Plato mengikuti pelajaran Socrates. Pelajaran itulah yang memberinya kepuasan baginya. Pengaruh Socrates semakin hari semakin mendalam padanya. Ia menjadi murid Socrates ayang setia sampai pada akhir hidupnya Socrates tetap menjadi pujaannya. Plato mempunyai kedudukan yang istimewa sebagai seorang filosuf.
Ia pandai menyatukan puisi dan ilmu, seni, dan filosofi. Menurut Plato ada dua macam budi: Pertama budi filosofi yang timbul dari pengetahuan dengan pengertian. Kedua budi biasa yang terbawa oleh kebiasaan orang banyak. Sikap hidup yang dipakai tidak terbit dari keyakinan diri sendiri melainkan disesuaikan kepada moral orang banyak dalam hidup sehari-hari. Negara menurut Plato adalah manusia dalam ukuran besar. Jadi seorang tidak dapat mengharapkan negara menjadi baik apabila ada beberapa orang kelakuannya tidak bertambah baik. Plato membagi penduduk dalam tiga golongan; golongan bawah, golongan tengah, dan golongan atas. Buah tangan Plato atau tulisan Plato hampir rata-rata berbentuk dialog. Jumlahnya tidak kurang dari 34 buah. Belum dihitung lagi tulisan-tulisannya yang berupa surat dan puisi. Yang sulit ialah menentukan waktu dikarangnya. Semuanya ditulis dalam masa lebih dari setengah abad.Bentuk negara yang baik menurut Plato, harus disesuaikan dengan keadaan yang nyata.
Negara harus berfungsi sebagai dokter, yang dapat memberikan obat yang bermacam-macam kepada pasiennya. Jikalau memang sudah ada negara yang telah memiliki undang-undang dasar, pemerintahan yang paling baik adalah monarki, sedangkan yang paling jelek adalah demokrasi. Sebaliknya, jikalau masih ada negara yang belum memiliki undang-undang dasar, pemerintahan yang terbaik adalah demokrasi, sedangkan yang terjelek adalah monarki, sebab demokrasi di sini dapat mencegah adanya penyalahgunaan kekuasaan.

Daftar Pustaka
Bagus, Lorens. 1996. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Beoang, Konrad Kebung. 1999. Plato : Jalan Menuju Pengetahuan yang Benar. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Bertens, K. 1997. Sejarah Filsafat Yunani.Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Darmodiharjo, Darji., Shidarta. 2004. Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Friedrich, Carl Joichim. 2004. The Philosophy of Law in Historical Perspective. Raisul Muttaqien (penj.). filsafat Hukum: Perspektif Sejarah. Bandung: Nuansa dan Nusamedia.
Hadiwijono, Harun. 2006. Sari Sejarah Filsafat Barat 1. Yogyakarta: Kanisius.
Hatta, Mohammad. 1986. Alam Pikiran Yunani. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Huijbers, Theo. 2006. Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta: Kanisius.
--------------------. 2007. Filsafat Hukum. Yogyakarta: Kanisius
Kusumohamidjojo, Budiono. 2004. Filsafat Hukum: Problematik Ketertiban yang Adil. Jakarta: Grasindo.
Rasjidi, Lili., Thania Rasjidi. 2007. Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Russel, Bertrand. 2004. History of Western Philosophy and its Connection with Political and Social Circumstances from the Earliest Times to the Present Day. Sigit Jatmiko, Agung Prihantoro, Imam Muttaqien, Imam Baihaqi, Muhammad Shodiq (Penj.). Sejarah Filsafat Barat: Kaitanya dengan Kondisi Sosio-politik zaman kuno hingga sekarang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Speake, Jennifer. 1984. A Dictionary of Philosophy. London: Pan Books Ltd. 

ERNEST NAGEL: THE LOGIC OF HISTORICAL ANALYSIS

ERNEST NAGEL:
THE LOGIC OF HISTORICAL ANALYSIS

Oleh:
Ramli Semmawi


I
Pendahuluan

It is often maintained that the natural scientices are nomothetic, whereas history—in the sense of an account of events—is idiographic (Nagel, 1959: 203).
Nagel telah memetakan bahwa sains dan sejarah tidak bisa diteliti dengan pendekatan yang sama. Menurut Nagel bahwa pendekatan yang tepat untuk penelitian sejarah adalah pendekatan secara ideografik. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa pembedaan antara kajian sains dan sejarah dapat dianalogikan antara diagnosis medis dan psikologis dan antara geologi dan fisika (Nagel, 1959: 205). Demikianlah perbedaan mendasar yang harus diperhatikan dalam meneliti sejarah.
Sementara filsafat sejarah, sendiri, berpangkal dari keinginan untuk mendapatkan jawaban yang memuaskan atas dua soal esensi, mengapa sejarah terjadi dan bagaimana terjadinya? (Siddiqi, 1983: 1). Para Sejarawan telah menyadari tuntutan ini, sehingga mereka berupaya mengali metode dokumentasi yang sudah lama dipakai menjadi metode historis sistematis, di mana peristiwa sejarah tertentu dikaitkan dengan peristiwa lain dan setiap kasus dicari kejelasannya melalui kasus lain untuk kemudian dideskripsikan. Tetapi melalui cara ini pun jawaban yang dikehendaki semula belum juga ditemukan. Sementara itu orang masih terus saja menyakini dan mengandalkan teori aksiden, yakni totalitas wujud manusia merupakan suatu proses tunggal, sedangkan peristiwa-peristiwa sejarah yang ada hanya dianggap sebagai kenyataan-kenyataan sepintas belaka.
Filsafat sejarah memang dimulai dari perenungan tentang Hukum Yang Menguasai Sejarah. Akan tetapi menganggap hukum aksiden sebagai hukum-sejarah merupakan kekeliruan. Sebabnya ialah:
1. Jika hukum aksiden merupakan hukum-sejarah, maka filsafat sejarah dengan sendirinya sudah terhenti di tempat ia bermula. Sebab jika perbuatan-perbuatan manusia, yang merupakan sejarah itu, tunduk kepada sesuatu yang buta (kebetulan), hal mana juga berarti tidak bergantung kepada suatu hukum tertentu, maka jelas filsafat sejarah tidak dapat menerangkan apa pun mengenai peristiwa-peristiwa itu sendiri.
2. Hidup manusia ini mempunyai makna. Buktinya ialah bahwa sebelum melakukan suatu tindakan-sadar orang akan berpikir dan menentukan tujuan terlebih dahulu. Ungkapan ini tidak bermaksud untuk mengatakan peristiwa-peristiwa kompleks, yang merupakan bahan sejarah itu sebagai peristiwa-peristiwa yang final dan cocok dengan tujuan tadi. Sebab kita sadar, bahwa rente peristiwa dunia atau dinamika alam dalam waktu pastilah tidak bertujuan dalam arti target yang sebelumnya sudah dipahami sebagai sasaran yang jauh namun pasti, ke mana semua kreasi tertuju. “Mengapa peristiwa-peristiwa alam ini bertujuan dalam pengertian di atas adalah berarti menghilangkan sifat kreatifnya. Tidak satu pun bukti historis yang mengatakan ada akal yang mampu menghantarkan manusia yang unik ini mencapai semua tujuannya. Alam ini adalah alam yang berkembang-takberbatas, dan karan itulah di kedalaman wujudnya tersimpan harapan baru. Alam ini hanya bertujuan dalam satu arti saja, yaitu makna yang mengatakan dapat dipilih serta diseleksi dengan sendirinya, dan bawa cara mewujudkan sesuatu yang baru ialah melalui kerja-keras yang memelihara masa silam dan melengkapinya.
3. Bahwa manusia, sebagai sentral filsafat sejarah, bukan hanya sebagai susunan kompleks elektron-elektron dan proton, dan bukan pula hanya merupakan gejala-gejala psikis yang bertenaga. Akan tetapi lebih dari itu manusia adalah ciptaan yang unik dan tak dapat dipahami sepenuhnya secara ilmiah. Manusia selalu sadar bahwa dirinya itu jauh lebih tinggi daripada sekedar inti kimiawi yang digerakkan insting seks dan insting makan-minum (Siddiqi, 1983: 2-3).
Faktanya bahwa penelitian sejarawan yang hanya dikaitkan pada suatu fakta tunggal, dan berusaha memastikan dependensi kausal antara kejadian-kejadain tertentu, tidaklah menjamin meluasnya pendapat bahwa ada perbedaan radikal antara struktur logi dari penjelasan di dalam sejarah dengan ilmu-ilmu umumnya (Nagel, 1959: 205).
Berangkat dari asumsi tersebut dalam tulisan ini, ingin melihat bahwa ada perbedaan mendasar dari kajian keilmuan sejarah dan ilmu-ilmu lainnya—terutama cara menenemukan kebenaran dalam ilmu eksakta. Hal ini dimaksudkan untuk melihat apakah penulisan sejarah itu objektif atau subjektif.

II
Subjektifitas dan Objektifitas Sejarah

There is a fundamental difference between (a) the process of discovering a historical truth and (b) the process of justifying a historical interpretation (Marton White, in Meyerhoff, 1959: 118).
Kadang-kadang benda-benda seperti reruntuh, perkamen dan mata uang tertinggal dari masa lampau. Di luar itu fakta-fakta sejarah diperoleh dari kesaksian dan karenanya merupakan fakta arti (facts of meaning) (Gottschalk, 1985: 27-28). Fakta-fakta semacam itu tidak dapat dilihat, dirasa, dikecap, didengar, atau dicium baunya. Dapat dikatakan bahwa fakta-fakta itu merupakan lambang atau wakil daripada sesuatu yang pernah nyata ada, tetapi fakta-fakta itu tidak memliki kenyataan objektif sendiri. Dengan kata lain, fakta-fakta itu hanya terdapat di dalam pikiran pengamat atau sejarawan (dan karenanya dapat disebut subjektif). Untuk dapat dipelajari secara objektif (yakni dengan maksud memperoleh pengetahuan yang tak memihak dan benar, bebas daripada reaksi pribadi seseorang).
Untuk melakukan pengetahuan yang objektif akan hal tersebut, maka objek tersebut harus mempunyai eksistensi yang merdeka di luar pikiran manusia. Akan tetapi kenangan tidak mempunyai eksistensi di luar pikiran manusia; Sedangkan kebanyakan sejarah didasarkan atas kenangan, yakni kesaksian tertulis atau lisan.
Ada terdapat suatu prasangka kasar terhadap pengetahuan “subjektif”, sebagai sesuatu yang lebih rendah daripada pengetahuan “objektif”, sebagian besar karena kata “subjektif” telah memperoleh arti “khayalan” atau didasari atas pertimbangan-pertimbangan pribadi, dan karenanya tidak benar atau berat sebelah (Gottschalk, 1985: 28). Terlebih lagi seorang sejarawan dalam memilih objek kajian dalam karyanya didorong oleh pertimbangan subjektifitasnya. Akan tetapi ini tidak berarti, bahwa hasil penelitiannya juga bersifat subjektif. Seorang ahli fisika juga ada minat pribadi terhadap gejala-gejala tertentu, tetapi tidak mempengaruhi objektivitas penelitiannya.
Lebih lanjut dijelaskan tentang sumber sejarah dari artifak. Artifak hanya jika dapat ditemukan relik daripada kejadian-kejadian yang menyangkut manusia, seperti pecahan kuali, mata uang, reruntuh, naskah, buku, potret, prangko, sepotong rongsokan, seutas rambut, atau sisa-sisa arkeologis atau antropologis, maka kita akan memiliki objek yang lain daripada kata-kata yang dapat dipelajari oleh sejarawan. Akan tetapi objek-objek itu tidak pernah merupakan kejadian aau peristiwa itu sendiri. Jika bersifat artifact mereka adalah hasil daripada peristiwa.
Semenjak Descartes, para sejarawan dipersalahkan dipersalahkan bertindak subjektif, karena mereka menyeleksi bahannya, memilih apa yang disebut dan apa yang tidak disebut dalam uraiannya mengenai peristiwa-peristiwa pada masa silam. Sejarah, demikian Descartes, merupakan sehelai kain tanpa jahitan atau sambungan; semua kait-mengait. Mengadakan seleksi, berarti mengacaukan sifat asli dari masa silam dan membuktikan subjektivitas sejarawan. Tentu saja, seorang sejarawan tidak dapat menyajikan suatu salinan lengkap mengenai kenyataan historis, dengan segala kekayaannya. Sebuah peta disebut objektif, sekalipun tidak semua bukit kecil dan anak sungai dimasukkan ke dalam peta itu. Sebuah laporan objektif tidak perlu merupakan sebuha laporan yang lengkap, ekshaustif (Ankersmit, 1987: 338).


III
Ernest Nagel dan Objektifitas Sejarah

“French Englightenment” is claimed to have not only a more inclusive scope than term “the live of Voltaire,” but also to possess a fuller intention (Rickert, 1921 in Nagel, 1959: 206).
Nagel ingin menjelaskan bahwa sebuah sejarah begitu luas aspek yang mengelilinginya. Sehingga membutuhkan penalaran yang lebih komprehensif dalam melihat suatu tautan dengan peristiwa-peristiwa yang saling kait-mengait. Maka perlu untuk melihat suatu peristiwa sejarah secara utuh, hal ini dimakusdkan bahwa sejarah ditulis atas dasar data objektif.
Ilmu sejarah itu mempelajari peristiwa masa lampau yang hanya sekali terjadi terjadi (einmalig). Penulisan sejarah tidak dapat begitu saja mengabaikan data empiris, karena ilmu sejarah juga merupakan ilmu empiris yang mengandalkan data objektif yang dapat diverifikasi. Kebenaran sejarah bukan semata-mata merupakan kebenaran pribadi penulis sejarah, melainkan juga merupakan kebenaran “umum” yang didasarkan pada prinsip logis dan bukti empiris yang dapat diandalkan. Fenomena historis itu bukan merupakan fiksi melainkan merupakan fakta.
Masa lampau dalam dirinya sendiri tidak akan bermakna apa-apa bagi manusia. Masa lampau akan menjadi bermakna setelah direkonstruksi dan dieksplanasikan dan “dikaitkan dengan masa kini dan masa depan” (Kartodirdjo, 1986: 9). Kuatnya pengaruh mitologi dalam sejarah juga sangat mempengaruhi cara pandang masyarakat dalam menuturkan sebuah peristiwa, maka apabila perlu juga diperhatikan tentang pentingnya kesadaran sejarah.
Sejarah sebagai salah satu ilmu sosial-humaniora juga merupakan ilmu empiris. Bagaimana pun juga sejarawan bekerja senantiasa mendasarkan diri pada fakta empiris yang terjadi di masa lampau. Fakta masa lampau yang biasanya sepotong-sepotong diupayakan untuk direkonstruksi, sehingga dapat dihasilkan historiografi yang logis dan mampu memberikan eksplanasi atas peristiwa yang dipandang penting di masa lampau sebagai satu kesatuan yang komprehensif.
Kesadaran sejarah ialah kesadaran bahwa suatu peristiwa, atau tampilan tokoh masa lalu, selalu terwujud dalam hubungan dinamik dengan faktor ruang dan waktu, karena itu tidak dapat dipandang dan dinilai sebagai hal yang berdiri sendiri. Akibat logis dari kesadaran sejarah itu ialah sikap penisbian terhadap kejadian dan tokoh masa lalu, dengan memandangnya secara kritis dan dinamis, serta membukanya untuk dipersoalkan, dan terus menerus dipersoalkan kembali (Majid, 2002: 105). Dengan kesadaran itu, sejarah dapat menjadi sumber pelajaran berharga bagi suatu masyarakat; kemampuan melihat adanya hubungan dinamis antara kejadian-kejadain, atau tokoh-tokoh masa lalu, dengan dimensi raung dan waktu yang mempunyai tuntutan-tuntutan tersendiri akan menyajikan suatu kerangka acuan yang subur dan absah utnuk mencari pemecahan masalah sekarang dan menghadapi tantangan masa depan. Sebaliknya, setiap pemutlakan akan membawa ke jalan buntu dalam mencapai pemecahan masalah sekarang dan menghadapi masa depan, karena hilangnya daya kritis dan kemampuan untuk belajar serta menarik pelajaran dari sejarah itu.
Kesadaran sejarah mangasumsikan adanya suatu hukum sejarah yang objektif dan tetap, tidak berubah; sebab, penarikan pelajaran dari kejadain masa lalau dengan sendirinya mengasumsikan adanya suatu pola yang dapat diulang dan dipergunakan untuk ruang dan waktu lain, jika faktor-faktor pembentuknya sama. Dengan kata lain, penarikan pelajaran dari sejarah mengisyaratkan adanya keperluan mengembangkan generalisasi yang bebas titi mangsa (dateless generalizations) (Majid, 2002: 106). Misalnya, tentang apa yang terjadi dalam perubahan budaya, generalisasi serupa itu tidak dapat begitu saja diambil dari disiplin lain an sich manapun, tetapi generalisasi itu perlu untuk meneliti apa yang secara bebas titi mangsa penting kejadian-kejadian budaya manusia yang berlangsung dalam ruang dan waktu.
Lebih lanjut Majid (2002: 106), menuturkan bahwa penelitian sejarah sama dengan tuntutan riset ilmiah manapun, generalisasi serupa itu mengharuskan adanya pandangan perbandingan (comparative perspectives) secukupnya. Pandangan perbandingan itu sendiri mengasumsikan kemampuan menarik nuktah-nuktah persamaan dan perbedaan dari pelbagai peristiwa dalam pelbagai ruang dan waktu itu. Tanpa ada pandangan perbandingan itu, suatu penarikan pelajaran dari sejarah menjadi mustahil—disebabkan oleh pandangan bahwa sejarah bersifat unik untuk ruang dan waktunya sendiri, tanpa kemungkinan adanya persamaan, apalagi pengulangan, untuk ruang dan waktu lain. Itu berarti bahwa sejarah akan menjadi disiplin mati, yang mungkin masih tetap punya segi-segi menarik namun dalam perngertian eksotik, seperti segi menariknya tarian kuda kepang bagi turis Jepang.
Generalisasi yang dimaksudkan dalam penelitian sejarah itu tidaklah sama betul dengan generalisasi yang dilakukan dalam ilmu eksakta. Hal tersebut masih tetap mengandung segi-segi kenisbian, oleh karena itu, kajian sejarah tetap bersifat idiografik, karena peristiwa sejarah yang bersifat khas itu juga berarti merupakan suatu idiom atau bersifat idiomatik, sehingga harus dipahami dan dipelajari pada dirinya sendiri.
Sifat idiomatik peristiwa sejarah adalah karena mustahilnya peristiwa itu dipahami lepas dari konteks ruang dan waktu. Suatu peristiwa kesejarahan tidak semata-mata merupakan sebuah contoh (sample), juga bukan semata-mata merupakan bahwa mentah untuk generaliasi bebas dateless generalizations. Maka, seseorang yang mengetahui sejarah masyarakat atau daerah tertentu atau peristiwa tertentu, kecuali dengan lebih dahulu secara khusus mempelajari masyarakat atau daerah lain itu.
Dengan demikian, suatu generalisasi kesejarahan adalah generaliasi yang masih tetap harus memperhatikan masalah ruang dan waktu. Oleh karena itu, tidak seperti generalisasi dari penelitian dunia benda-benda, generalisasi kesejarahan yang dengan sendirinya selalu oleh seseorang harus selalu diterima dengan sebuah catatan subjektif. Akibatnya, meskipun generalisasi itu tetap diperlukan sebagai syarat kemungkinan menarik pelajaran dari sejarah, namun tetap tidak dapat diulang, atau diterapkan secara mutlak. Dengan begitu, generalisasi sejarah tetap mengandung kenisbian.
Jika segi kenisbian generalisasi atau kesimpulan hukum sejarah itu tidak diakui dan disadari, maka yang dikhawatirkan dari persepsi mitologis kepada sejarah adalah timbulnya sikap-sikap dogmatis, absolutistik. Jadi, sekalipun ada hukum sejarah, namun tidak sepenuhnya sebanding dengan hukum alam. Mungkin saja hukum sejarah itu bersifat pasti, tidak mengenal perubahan, namun karena menyangkut variabel yang begitu luas dan banyak, maka pengetahuan manusia tentang hukum itu akan sebanding dengan batas penguasaannya kepada sejumlah variabel yang dihasilkannya akan mengandung kelunakan—sebagai suatu soft science—dan itu bukan kelemahan (Majid, 2002: 107). Rasionalisme menganggap sejarah tak lain dari kemenangan terus-menerus dari akal dalam diri manusia, dan kemenangan atas kekuatan-kekuatan irrasional di dunia (Kartodirdjo, 1986: 56)
Ch. Beard (Ankersmit, 1987: 338-339), mengatakan bahwa seorang sejarawan selalu subjektif, karena sambil melacak kembali rantai sebab dan akibat ke arah masa silam, ia berhenti pada suatu saat tertentu. Mengapa tidak diteruskan? Jelaslah, bahwa kita, bila ingin melacak sebab-sebab Revolusi Prancis, tidak perlu kembali ke zaman Bapak Adam. Ketidaklengkapan suatu uraian historis, tidaklah berarti subjektif. Hal ini menjelaskan bahwa melihat sejarah tidak boleh lepas dari ruang dan waktu, di mana peristiwa sejarah itu terjadi. Konteks sosial, budaya dan keadaan ekonomi merupakan data yang bisa dijadikan sebagai data yang sifatnya objektif. Sejalan dengan ini Popper (1985: 58) mengatakan bahwa satu-satunya hukum yang universal dalam masyarakat adalah hukum sejarah. Hukum-hukum ini adalah hukum mengenai proses, perubahan dan perkembangan dan bukan hukum semu mengenai hal-hal yang seolah-olah konstan atau serupa.
Popper ingin mengatakan bahwa melihat sejarah penting kiranya mencari sebab dari proses itu dan kerjanya kekuatan-kekuatan yang mengakibatkan perubahan terjadi. Maka penting untuk membuat hipotesa mengenai trend-trend umum yang mendasari perkembangan sosial, supaya dengan mendeduksi ramalan-ramalan dari hukum-hukum umum tersebut manusia dapat menyesuaikan dirinya pada perubahan-perubahan yang segera akan terjadi. Lovejoy (1959: 173), mengatakan bahwa melihat sejarah haruslah berangkat dari konteks kekinian. Karena sejarah tidak hanya melihat masa lampau, melainkan juga ke masa yang akan datang. Ilmu ini meneliti pengaruh-pengaruh dan hukum-hukum perkembangan sosial.
IV
Kesimpulan

Menanamkan kesadaran sejarah dalam masyarakat menjadi sebuah keharusan. Suatu bangsa akan sulit berkembang jika kesadaran itu tidak ada atau lemah. Ini karena kesadaran sejarah itulah kita dapat melakukan akumulasi pengalaman kemanusiaan—suatu pendekatan yang ekonomis atau hemat untuk menumbuhkan budaya dan peradaban. Tapi, untuk tujuan itu, masalah kemutlakan dan kenisbian yang menyangkut pengalaman hidup manusia dalam sejarah tetaplah harus diingat. Bahaya kemandekan perkembangan, karena tidak adanya kemampuan mengambil pelajaran dari sejarah, sama besarnya dengan bahaya pemutlakan pengambilan pelajaran itu. Selanjutnya, kesadaran sejarah juga menuntut adanya konsistensi pemikiran yang juga berarti memerlukan jenis keahlian khusus. Seperti dalam sebuah ungkapan bijak, kalau suatu perkara diserahkan kepada bukan ahlinya, tunggulah saat kehancurannya.
Sejarah adalah sebuah keutuhan yang hanya hanya mampu dideskripsikan dengan skala lebih kecil. Maka penting kiranya dalam kajian sejarah, memberi kejelasan pendekatan dari sisi yang terang. Penelitian sejarah juga membatasi objek kajian, misalnya, sejarah dalam konteks politik, ekonomi, atau perkembangan kebudayaan. Hal demikian ini membuktikan bahwa suatu penelitian sejarah adalah objektif, karena memberi batasan konteks ruang dan waktu, sehingga apa yang coba diungkapkan dapat diverifikasi oleh orang lain.
Teori ideografik dapat menjelaskan secara lebih komprehensif mengenai data yang merupakan fakta sejarah. Dengan demikian keutuhan dan objektifitas sebuah data penelitian sejarah dapat dijadikan sebuah gambaran akan realitas di masa lalu. Dan dari hasil penelitian tersebut, kita dapat mengambil pelajaran berharga demi menyongsong masa depan yang lebih baik, dengan belajar dari sejarah masa lalu. Sebuah peradaban akan maju apabila tahu perkembangan sejarah masa lalu yang menyelimutinya.



Daftar Pustaka
Ankersmit, F.R. 1987. Denken Over Geschiedenis: Een Oversicht van Moderne Geschiedfilosofische Opvattingen. Diterjemah oleh Dick Hardoko. Refleksi tentang Sejarah: Pendapat-Pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Gottschalk, Louis. 1985. Understanding History: A Primer of Historical Method. Diterjemah oleh Nugroho Notosusanto. Mengerti Sejarah. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Kartodirdjo, Sartono. 1986. Ungkapan-Ungkapan Filsafat Sejarah Barat dan Timur: Penjelasan Berdasarkan Kesadaran Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Lovejoy, Arthur O. 1959. “Present Standpoints and Past History.” in Hans Meyerhoff (commentator). The Philosophy of History in Our Time: An Anthology Selected and with an Introduction and Commentary by Hans Meyerhoff. New York: Doubleday Anchor Books. page. 173-188.
Majid, Nurcholish. 2002. Fatsoen. Jakarta: Republika Press.
Nagel, Ernest. 1959. “The Logic of Historical Analysis.” in Hans Meyerhoff (commentator). The Philosophy of History in Our Time: An Anthology Selected and with an Introduction and Commentary by Hans Meyerhoff. New York: Doubleday Anchor Books. page. 203-216.
Popper, Karl R. 1985. Gagalnya Historisisme. Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES).
Shiddiqi, Abdul Hamid. 1983. تفسيرالتارخى ‘tafsirul al-tarikh’ Diterjemah oleh Moh. Nabhan Husein. Islam dan Filsafat Sejarah. Jakarta: Media Dakwah.

SIMBOLISME DALAM ARSITEKTUR RUMAH BUGIS (SUATU TINJAUAN FILOSOFIS)

I
Pendahuluan
Rumah panggung kayu mewakili sebuah tradisi yang bertahan lama bagi masyarakat Sulawesi Selatan, tradisi yang juga tersebar luas di dunia Melayu. Bentuk dasar rumah adalah sebuah kerangka kayu di mana tiang menahan lantai dan atap, dengan dan lantai dan atap diri pelbagai bahan, keaneka-ragaman bahan kian meningkat dalam dunia kontemporer setelah pendirian rumah menjadi kian dimodifikasi. Rumah adat kayu mencerminkan sebuah estetika tersendiri yang menjadikannya objek budaya materil yang indah (Robinson, 2005: 271-272).
Namun, rumah-rumah di Sulawesi Selatan lebih dari sekedar tempat berteduh bagi penghuninya, atau objek materil yang indah dan menyenangkan. Rumah adalah ruang sakral di mana orang lahir, kawin dan meninggal dan di tempat ini pula kegiatan-kegiatan sosial dan ritual tersebut diadakan. Terbuat dari bahan-bahan alami, rumah juga memiliki ciri sakral yang diwakili oleh sifat alami tersebut. Praktik kehidupan religius sehari-hari dari komunitas Islam di Sulawesi Selatan menghadirkan hibriditas yang lazim ada di sebuah provinsi kepulauan yang selama berabad-abad telah terlibat dalam lintas perdagangan yang ramai di Asia Tenggara, dan jalur perdagangan dengan Afrika, Eropa dan China, dan memiliki persamaan dengan tradisi-tradisi sinkretis lainnya di nusantara (Robinson,2005: 272).
Rumah dalam tulisan ini adalah rumah sebagai tempat tinggal orang Bugis, dapat dibedakan berdasarkan status sosial orang yang menempatinya. Oleh karena itu, di daerah ini dikenal istilah Sao Raja (salassa) dan Bola. Nama Sao Raja yang berarti rumah besar adalah rumah ditempati oleh keturunan raja atau kaum bangsawan, sedangkan Bola adalah rumah yang ditempati oleh rakyat biasa (Yunus, 1999: 99).
Pada dasarnya kedua jenis rumah ini tidak mempunyai perbedaan yang mendasar bila dilihat dari segi bangunan, tetapi berbeda karena status penghuninya. Rumah Sao Raja karena ditempati oleh keturunan raja atau bangsawan, maka selain bentuknya lebih besar juga diberikan identitas-identis tertentu yang mendukung tingkat status sosial dari penghuninya. Misalnya, timpanon yang berjumlah 3-5 tingkat, hiasan yang digunakan dan lain sebagainya.
Tipologi kedua rumah ini adalah sama-sama rumah panggung. Lantainya mempunyai jarak tertentu dengan tanah, sedangkan denah rumah tersebut keduanya sama pula, yakni empat persegi panjang. Perbedaannya adalah Sao Raja dalam ukuran yang lebih besar, sedangkan Bola dalam ukurannya yang lebih kecil (Anwar, 2007: 76). Tipologi ini yang merupakan tipologi umum berkembang di wilayah nusantara nampak mempunyai kaitan dengan keamanan bagi penghuninya.
Hal ini sejalan dengan yang dikemukan Yudoseputro (1993: 2) bahwa rumah panggung berfungsi sebagai tempat tinggal yang aman dari gangguan binatang. Bentuk rumah panggung menurut kenyataannya selalu berubah karena manusia mampu meningkatkan fungsi rumah karena pengalaman hidupnya sebagai makhluk pencipta. Rumah orang Bugis, baik Sao Raja maupun Bola, terdiri dari tiga bagian. Ketiga bagian itu adalah Awa Bola, Ale Bola, dan Rakkeang. Awa Bola adalah kolom rumah yang terletak pada bagian bahwa, antara lantai dengan tanah. Sedangkan Ale Bola adalah badan rumah yang terdiri dari lantai dan dinding. Ale Bola ini terletak antara lantai dan loteng rumah. Rakkeang merupakan bagian rumah paling atas. Bagian ini terdiri dari loteng dan atap rumah.
Dari asumsi di atas, maka tulisan ini akan melihat Bagaimana makna simbolik dan fungsioanl dari konstruksi rumah panggung orang Bugis sebagai sebuah karya seni? Hal ini dimaksudkan untuk memberi pemahaman tentang makna dari konstruksi tersebut secara filosofis.
II
Estetika dan Simbolisme
Kata simbol berasal dari kata Yunani, yaitu symbolos yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang. Roland Barthers mengemukakan bahwa secara umum segala sesuatu signifikan adalah sebuah tanda yang diciptakan untuk menyampaikan suatu informasi, atau pesan, atau arti tertentu. Sementara dalam hal simbol, Doede Nauta berpendapat bahwa setiap tanda (melalui suatu yang khusus) yang menentukan isi komunikasi antar manusia berdasarkan konvensi, adalah simbol (Said, 2004: 5).
Dalam wacana dunia kesenirupaan dan budaya benda, pembicaraan estetika yang penting adalah mengupas simbolisme. Hal itu karena manusia bukan saja sebagai makhluk pembuat alat, melainkan juga sebagai makhluk pembuat simbol melalui bahasa-bahasa visual. Cassirer (1987: 208) mengatakan bahwa keindahan tergolong gejala manusiawi yang sangat jelas penampakkannya, untuk menjelaskan sifat dan kodratnya tidak diperlukan teori-teori metafisika yang kompleks dan rumit.
Michael Langmann (Said, 2004: 3), mengatakan bahwa setiap karya dari manusia dilaksanakan dengan suatu tujuan, yaitu bahwa setiap benda dari alam di sekitarnya yang diolah dan dikerjakan oleh manusia mangandung dalam dirinya suatu nilai tertentu. Nilai itu bermacam-macam, misalnya nilai kegunaan, ekonomi, sosial, dan atau keindahan. Dengan demikian berkarya berarti merealisasikan gagasan yang dianggap bernilai, di mana nilai itu sendiri telah hadir sebelum hasil karya tersebut diciptakan. Dengan kata lain, dalam setiap hasil karya terwujudlah suatu ide dari manusia. Setiap benda budaya paling sedikit menandakan suatu nilai tertentu. Dalam upaya mencapai hasil yang optimal, untuk menunjukkan dan gagasan-gagasan penciptanya.
Dalam lingkup kesenian, diyakini tetap tidak terlepas dari logika, yag kemudian dikenal sebagai logika imajinasi. Di dalam percaturan filsafat, logika imajinasi tidak bermartabat sederajat degan logika intelek murni (Sachari, 2002: 15). Kalaupun ada teori kesenian, hanya bisa berupa gnoseologia inferior, suatu analisis tentang bagian indrawi, yaitu bagian yang dinilai lebih rendah daripada pengetahuan manusia. Di lain pihak, seni dapat dilihat sebagai lencana bagi kebenaran moral. Seni diartikan sebagai suatu kiasan, suatu ibarat, maksud etis yang diselimuti bentuk indrawi. Dalam tafsiran teoretis ataupun tafsiran moral, seni tidak memiliki niail dirinya sendiri. Dalam hierarki kehidupan manusia, seni menjadi sekedar tahap persiapan sebagai “bawahan dan pelayanan bagi beberapa tuan” (Cassirer, 1987: 209).
Gagasan-gagasan Cassirer tentang bentuk simbolis adalah bahwa karya estetis bukanlah semata-mata reproduksi dari realitas yang selesai. Seni merupakan salah satu jalan ke arah pandangan objektif atas benda-benda dan kehidupan manusia. Seni bukannya imitasi realitas, melainkan penyingkapan realitas. Tentu saja, alam yang disingkapkan melalui seni tidak sama artinya dengan kata alam sebagaimana digunakan oleh ilmuwan (Cassirer, 1987: 216).
Perbedaan tajam antara seni objektif dengan seni subjektif, dan seni representatif dengan seni ekspresif, sukar dipertahankan. Dekorasi Parthenon atau Misa karya Bach, Kapel Sistine Karya Michaelangelo, atau sajak Leopardi, sonata Beethoven atau novel Dostoievski tidak semata-mata representatif, tidak juga semata-mata ekspresif. Namun bagi Cassirer, karya-karya itu bersifat simbolis dengan makna baru yang lebih mendalam (Sachari, 2002: 15).
Pandangan yang demikian tersebut sebagai titik berangkat dalam tulisan ini. Hal ini dilakukan bahwa dalam konstruksi bangunan rumah panggung orang Bugis. Tidak hanya memberi representatif terhadap karya seni manusia, tetapi juga membawa simbol-simbol kehidupan kosmologi manusia Bugis. Bentuk rumah, susunan, ruang dalam rumah tidak hanya fungsional tapi juga memiliki makna simbolis dari setiap ruang dan susunan dari rumah terebut.
Sejalan dengan pemikiran Cassirer, Langer (Suchari, 2002: 18), mengatakan bahwa simbol tidak bergantung pada hukum yang mengatur perhubungan unsur-unsurnya, tetapi pada intiusi. Jenis simbol inilah yang disebutnya sebagai simbol presentasional. Simbol macam ini tidak berupa konstruksi yang dapat diuraikan ke dalam unsur-unsurnya, tetapi suatu kesatuan bulat dan utuh. Simbol tersebut dapat menjadi unsur dari suatu simbol diskursif. Sebagai unsur, simbol presentasional tak dapat diuraikan lagi ke bagian lain yang lebih kecil. Simbol representasional tak perlu harus menjadi unsur saja, namun dapat berdiri sendiri sebagai simbol yang penuh, bukan sebagai suatu konstruksi, bukan pula suatu unsur dari suatu konstruksi atau susunan. Simbol semacam itulah yang terdapat dalam kreasi seni atau karya estetik.
Teori estetik yang dimukakan Langer merupakan pemikiran lanjutan dari filsafat simbol. Langer dalam hal ini masih searah dengan Ernst Cassirer yang pernah menjadi gurunya dengan beranggapan bahwa simbol merupakan seluruh kegiatan mental manusia. Bahkan Cassirer (1987: 39), mengatakan bahwa manusia hidup dalam suatu dunia simbolis. Bahasa, mite, seni, dan agama adalah bagian-bagian dunia simbol ini. Dengan demikian kita akan mendefinisikan manusia sebagai animal symbolicum. Inilah jalan baru untuk memahami manusia, jalan ke arah peradaban.
III
Kepaduan dalam Makna Simbolis dan Fungsi Rumah Bugis
Para filsuf awal ketika membicarakan tentang seni, maka mereka mengaitkannya dengan apa yang mereka sebut ‘keindahan’. Dan kemudian dikenallah pengetahuan ini sebagai filsafat keindahan (Sumardjo, 200: 24), termasuk di dalamnya keindahan alam dan keindahan karya seni. Jadi, objek materil filsafat seni adalah mempersoalkan karya seni atau benda seni atau artefak yang disebut seni (Sumardjo, 2000: 25).
Lebih lanjut Sumardjo (2000: 22) mengatakan bahwa konteks filsafat seni Indonesia, peleburan diri (kehilangan kesadaran diri) dalam keindahan karya seni adalah syarat mutlak dalam mencapai taraf kebenaran dan susila dunia religius para dewa dan roh. Pengalaman seni identik dengan pengalaman religius. Nilai seni setaraf dengan nilai religius. Argumentasi ini menguatkan tentang bagaimana konstruksi sebuah karya seni—rumah panggung manusia Bugis, memiliki makna simbolis sekaligus memiliki sisi fungsional di dalamnya.
Pelras (2006: 265) mengatakan bahwa rumah tradisional Bugis merupakan contoh model rumah Asia Tenggara, yaitu rumah panggung dari kayu, yang atapnya berlereng dua, dan kerangkanya berbentuk huru “H” terdiri dari tiang dan balok yang dirakit tanpa pasak atau paku; tianglah yang menopang lantai dan atap sedangkan dinding hanya diikat pada tiang luar.
Pada dasarnya, rumah tersebut memiliki atap (pangate’) dua latar yang disatukan dengan sebuah bubungan lurus (alekke’). Dindingnya (renring) terbuat dari bahan ringan, sementara lantainya (salima) berjarak sekitar dua meter—kadang-kadang lebih—dari permukaan tanah, dan kolong rumah (awa bola) biasanya dibiarkan terbuka. Rangka rumah terbuat dari sambungan kayu tanpa menggunakan pasak atau paku (suatu teknik yang tergantung kepada tersedianya alat pertukangan yang dibutuhkan, sehingga berhubungan langsung pula dengan perkembangan kepandaian pengolahan besi penduduk setempat). Tiang rumah (alliri) bertumpu di atas tanah dan berdiri hingga ke loteng serta menopang berat atap. Pada setiap tiang dibuat lobang segi empat untuk menyisipkan balok pipih penyangga lantai (arateng) dan balok pipih penyangga loteng (ware’), yang menghubungkan panjang rangka rumah. Selain itu, pada setiap tiang dibuat pula lubang segi empat tepat di bawah lubang tadi untuk menyisipkan balok pipih yang menyilang di bawah penyangga lantai (pa’tolo’ri awa) dan balok pipih yang menyilang di bawah penyangga loteng (pa’tolo’ ri ase’), yang menghubungkan lebar rangka rumah.
Rumah Bugis memiliki struktur dasar yang terdiri dari tiga kali tiang (tiga barisan tiang memanjang dan tiga baris melebar) berbentuk persegi panjang dengan satu tiang di tiap sudutnya, dan pada setiap sisi terdapat satu tiang tengah, serta tepat di tengah persilangan panjagn dan lebar terdapat tiang yang disebut “pusat rumah” (posi’ bola). Umumnya, rumah orang biasa terdiri atas empat tiang untuk panjang dan empat tiang untuk lebar rumah. Pada sisi panjang (bagian samping badan rumah) biasanya ditambahkan tamping, yakni semacam serambi memanjang yang lantainya sedikit lebih rendah, dengan atap tersendiri; pintu masuk bagian depan berada di ujung depan tamping dan—jika ruang dapur tidak terpisah—dapurnya berada di ujung belakang tamping. Kalaupun ada tambahan lain, dengan rancangan lebih kompleks, bentuk segi empat tetap jadi pola dasar (Pelras, 2006: 268).




Gambar rumah Bugis: 1. Rakkeang (dunia atas), 2. Ale Bola (dunia tengah), 3. Awa Bola (dunia bawah)

Rumah orang Bugis terdiri dari tiga bagian. Ketiga bagian itu adalah Awa Bola, Ale Bola, dan Rakkeang. Konstruksi ini bagi orang Bugis memiliki nilai mitis. Dan bila didekati dalam konsep struktural rumah tradisional Bugis, maka secara struktural fungsional dipahami sebagai berikut: Pandangan kosmologis suku Bugis mengganggap bahwa makrokosmos (alam raya) ini bersusun tiga tingkat yaitu: Boting langi’ (dunia atas), Ale Kawa (dunia tengah), dan Uri liyu (dunia bawah), dan segala pusat dari ketiga bagian alam ini adalah Boting langi’ (langit tertinggi) tempat Dewata SeuwaE (Tuhan Yang Maha Kuasa) bersemayam. Pandangan ini diwujudkan dalam bangunan rumahnya yang dipandang sebagai mikrokosmos. Oleh karena itu pula, rumah tempat tinggal orang Bugis dibagi pula atas tiga tingkatan, yaitu:
1. Rakkeang (loteng, kepala)
2. Alle Bola (badan rumah)
3. Awa Bola (kolong rumah, kaki) (Yunus, 1999: 198; Anwar, 2007).
Pandangan tiga tingkat rumah Bugis ini, sebagai bentuk ekspresi penyembahan kepada tiga dewa yang menguasai tiga dunia dalam pandangan Bugis. Ketiga dewa itu adalah: Dewa Langi, yaitu dewa yang menguasai langit, Dewa Malino yaitu dewa yang menguasai bumi dengan segala isinya, dan Dewa UwaE yang menguasai tanah, sungai, dan laut (Yunus, 1999: 198). Ketiga dewa ini merupakan dewa yang dihormati oleh suku Bugis dan dipercaya hubungan yang terjalin dengan baik antara umat dengan dewa akan aman dan sejahtera. Sebaliknya apabila hubungan baik itu hancur akibat kesalahan manusia kan disusul oleh azab yang nampak dalam bencana alam, wabah, gempa bumi, kemarau panjang dan lain-lain.
Oleh karena itu, agar hubungan umat dengan dewa tetap baik, maka perlu ada tata laku penyembahan kepada tiga dewa tersebut. Dalam rumah Bugis penyembah Dewa Langi’ diadakan di toleng rumah (rakkeang) dengan sesajen. Rakkeang sebagai tempat yang tertinggi. Penyembahan Dewa Malino dianggap berdiam di Ale Bola (badan rumah) juga dalam bentuk sesajen. Begitu pun Dewa UwaE, penyembahannya dalam bentuk sesajen dan dianggap bersemanyam di Awa Bola (kolong rumah).
Dalam rumah Bugis, umumnya upacara-upacara keagamaan dilakukan pada bagian ale bola (badan rumah), karena bagian ini dianggap sebagai dunia (alam semesta—lino). Dalam kosmogonis suku Bugis, lino atau alam semesta digambarkan dalam bentuk sulapa eppa’ (segi empat belah ketupat) (Anwar, 2007: 439). Sebagai simbol alam raya, adapun upacara-upacara yang biasa dilakukan pada badan rumah ini adalah upacara mendre bola baru (naik rumah baru), upacara mappanre tau mangngideng, upacara mattoana isi (menyambut tumbuhnya gigi), upacara mappano bine (menabur benih) untuk menghormati Indo Pare (Dewi Sri—Dewi Padi), upacara mappanre Dewata (memberi makan Dewata), dan lain sebagainya.
Beberapa upacara yang dilakukan pada bagian Ale Bola (badan rumah) itu, sesajennya dipersembahkan (diserahkan) atau dalam bahasa Bugis Massorong sokko patanrupa (menyerahkan nasi ketan dalam empat warna) sebagai simbol dari Sarwa Alam yang terdiri dari Air, Api, Udara, dan Tanah (Anwar, 2007: 439). Massorong dilakukan dalam dua bentuk yaitu Massorong Lao iase= penyerahan ke atas diperuntukkan kepada Dewa Langi yang berada di Rakkeang (loteng rumah) dan Massorong Lao riawa atau penyerahan sesajen ke bawah diperuntukkan pada Dewa UwaE di bawah rumah (kolong rumah) (Yunus, 1999: 200).
Ruang pada rumah Bugis dikenal dengan tiga ruangan yang disebut Latte, masing-masing mempunyai fungsi. Ketiga ruang tersebut adalah: Pertama, Ruang Depan, yang terletak paling depan badan rumah, dan biasanya disebut Lontang Risaliweng. Kata lontang biasa pula disebut Latte. Raung depan ini mempunyai beberapa fungsi dan kehidupan orang Bugis seperti menerima tamu, tempat tidur tamu, tempat musyawarah, tempat menyimpan benih dan tempat membaringkan mayat sebelum diberangkatkan ke kubur. Berdasarkan fungsi di atas, ruang depan nampaknya mempunyai arti penting dalam rangka penghuni rumah berkomunikasi dengan orang luar. Oleh karena itu, raung depan ini sudah seharusnya pula memenuhi syarat kebersihan, keindahan dan keluasan. Syarat keluasan karena raung depan juga berfungsi untuk bermusyarah ataupun upacara-upacara tertentu yang memerlukan tempat yang lebih luas. Tampaknya aktivitas-aktivitas kekeluargaan tidak banyak dilakukan di ruangan ini.
Kedua, Ruang Tengah, yang terletak pada bagian tengah rumah disebut Lontang Ritengnga atau Latte ritengnga. Ruangan ini berfungsi sebaai tempat tidur kepala keluarga beserta istri dan anak-anak yang belum dewasa. Misalnya raung makan terletak pada ruang ini. Di samping itu seandainya seorang ibu harus melahirkan, maka ia harus melahirkan di sini pula. Nampaknya hubungan sosial antara anggota rumah tangga frekuensinya lebih banyak berlangsung di ruang tengah ini. Oleh karena itu, suasana kekekuargaan yang informal lebih terlihat di ruangan ini daripada di ruang depan.
Ketiga, Ruang Belakang, yang merupakan ruangan ketiga pada rumah orang Bugis disebut Lontang rilaleng atau Latte rilaleng. Raungan ini merupakan tempat tidur anak gadis atau para orang tua seperti nenek atau kakek. Fungsi ruang ini memperlihatkan bahwa segi pengamanan dari anggota rumah tangga. Orang yang telah lanjut usia ataupun gadis remaja, sesuai dengan kodratnya memerlukan perlindungan yang lebih baik. Ruang belakang dibandingkan dengan ruang tengah dan depan, tempatnya lebih aman dan terlindungi dari serangan ataupun gangguan (Yunus, 1999: 108-109).
Selain dari itu juga rumah Bugis juga memiliki tambahan ruang, yaitu Lego-lego atau Dapureng (dapur). Disebut lego-lego apabila letaknya di depan. Tetapi apabila ruangan tambahan itu terletak di belakang atau di samping, ruangan itu disebut dapureng yang berarti dapur.
Lego-lego berfungsi sebagai tempat sandaran tangga depan, tempat duduk tamu sebelum masuk rumah, tempat istirahat pada sore hari, dan tempat menonton pada waktu ada upacara di halaman depan rumah. Pada lego-lego ini tidak terlihat fungsinya untuk melayani kebutuhan pokok anggota rumah tangga.
Berlainan dengan itu, dapureng atau dapur yang terletak di samping atau di belakang mempunyai fungsi yang lebih utama untuk melayani kebutuhan anggota rumah tangga. Tempat ini misalnya berfungsi untuk memasak makanan kebutuhan rumah tangga. Di samping segala peralatan yang diperlukan dalam kegiatan kerumahtanggan terutama peralatan dapur disimpan di ruangan ini.
Demikianlah gambaran simbolisme dan fungsi dari rumah Bugis. Sumardjo (2000: 128), mengatakan bahwa seni itu menghadirkan sesuatu, baik sesuatu yang fisikal, spiritual, mental dan sosial. Hal yang demikian nampak pada konstruksi rumah Bugis. Di mana bentuk dan ruang pada rumah Bugis mewakili dari pelbagai unsur nilai, nilai fungsional dan nilai spiritual nampak padanya.
Pemikiran yang demikian pula telah lama dikemukan oleh Plato yang mengacu pada 2 dunia. Dunia atas dan dunia bawah. Dunia idea adalah dunia yang ada di atas dan belum bermanifestasi. dunia atas sebagai paradigma dari dunia bawah. Dunia bawah merupakan tiruan dari dunia atas, penyajian kembali dari dunia idea. Intuisi dan aspirasi adalah penyambung antara dunia atas dan dunia bawah. Karya seni adalah representasi dari idea sehingga satu karya seni dianggap tiruan dari karya yang lain (Mimesis). Rumah Bugis mencerminkan idea mereka tentang kosmos, sehingga konstruksi rumah Bugis mengakomodasi dari unsur-unsur kosmologi mereka dengan pembagian ruang yang ada pada bangunan rumah tersebut.
IV
Kesimpulan
Karya seni tidak hanya menghasilkan sesuatu yang indah tetapi memiliki makna simbolis dan fungsional di dalamnya. Hal tersebut nampak pada konstruksi rumah Bugis. Di mana nilai idea direpresentasikan ke dunia riil sebagai wujud pemaknaan akan hidup yang religius dan memberikan manfaat pada pelaku seni tersebut. Bangunan rumah tersebut dibuat tidak hanya memberi fungsi tetapi juga memberi nilai estetik yang pada dasarnya merupakan bentuk prilaku spiritual para pemiliknya. Hal tersebut terlihat pada bagaimana mereka membuat ruang sesuai dengan pandangan kosmologis mereka.
Rumah Bugis dibangun memiliki makna simbolis yang sangat kuat, di mana konstruksi rumah dibangun dalam tiga ruang yang mewakili tiga makna. Makna yang diwakili tersebut merupakan cerminan akan tiga dunia yang diyakini manusia Bugis, yaitu dunia atas, dunia tengah dan dunia bawah. Sedangkan secara fungsional, rumah Bugis memiliki fungsi yang menjelaskan bagaimana kehidupan itu harus dibangun dan sosialitas mereka terhadap keluarga, masyarakat dan lingkungan mereka. Fungsi ruang-ruang dalam rumah Bugis juga mewakili konsep kosmologis mereka. Ruang Rakkeang dijadikan sebagai tempat menyimpan padi, jagung dan hasil panen dari pertanian mereka. Ruang Ale Bola dijadikan tempat tinggal bagi pengguninya. Dan ruang Awa Bola dijadikan tempat untuk alat-alat pertanian dan segala kebutuhan perekonomian mereka.
Analisis simbolis yang dilakukan dalam melihat karya seni berupa rumah Bugis tersebut sangat membantu dalam mengungkap idea sebuah karya seni. Rumah Bugis yang dilihat dari pendekatan simbolis telah memberi gambaran yang lebih komprehensif tentang bagaimana sebuah karya seni dinilai. Karya seni tidak hanya dinilai dari segi keindahan semata, tetapi penilaian tersebut sepatutnya pula melihat makna dibalik mengapa sebuah karya seni dibuat. Dan hal demikian menjadi padu dalam karya seni orang Bugis berupa rumah panggung. Di mana unsur estetika nampak dan makna-makna simbolis juga sangat kuat di dalamnya.

Daftar Pustaka
Anwar, Idwar. 2007. Ensiklopedi Kebudayaan Luwu. Makassar: Pustaka Sawerigading.
Cassirer, Ernst. 1987. Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esei tentang Manusia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Pelras, Christian. 2006. Manusia Bugis. Jakarta: Nalar Press bekerja sama dengan Forum Jakarta-Paris, EFEO.
Robinson, Kathryn. 2005. “Tradisi Membangun Rumah di Sulawesi Selatan” dalam. Kathryn Robinson dan Mukhlis PaEni. Tapak-Tapak Waktu: Kebudayaan, Sejarah, dan Kehidupan Sosial di Sulawesi Selatan. Makassar: Ininnawa.
Sachari, Agus. 2002. Estetika: Makna, Simbol dan Daya. Bandung: Penerbit ITB.
Said, Abdul Azis. 2004. Toraja: Simbolisme Unsur Visual Rumah Tradisional. Yogyakarta: Ombak.
Sumardjo, Jakob. 2000. Filsafat Seni. Bandung: Penerbit ITB.
Yudoseputro, Wiyoso. 1986. Pengantar Seni Rupa Islam di Indonesia. Bandung: Penerbit Aksara.
Yunus, Pangeran Paita. 1999. Unsur-Unsur Kemahiran Lokal (Local Genius) dalam Ragam Hias Bugis: Kajian Ragam Hias pada Rumah Tradisional Bugis Sulawesi Selatan dalam Unsur-Unsur Estetika Bentuk. Tesis pada Program Magister Seni Rupa dan Desain, Program Pascasarjana, Institut Teknologi Bandung, Tahun 1999.