Selasa, 19 Januari 2010

ERNEST NAGEL: THE LOGIC OF HISTORICAL ANALYSIS

ERNEST NAGEL:
THE LOGIC OF HISTORICAL ANALYSIS

Oleh:
Ramli Semmawi


I
Pendahuluan

It is often maintained that the natural scientices are nomothetic, whereas history—in the sense of an account of events—is idiographic (Nagel, 1959: 203).
Nagel telah memetakan bahwa sains dan sejarah tidak bisa diteliti dengan pendekatan yang sama. Menurut Nagel bahwa pendekatan yang tepat untuk penelitian sejarah adalah pendekatan secara ideografik. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa pembedaan antara kajian sains dan sejarah dapat dianalogikan antara diagnosis medis dan psikologis dan antara geologi dan fisika (Nagel, 1959: 205). Demikianlah perbedaan mendasar yang harus diperhatikan dalam meneliti sejarah.
Sementara filsafat sejarah, sendiri, berpangkal dari keinginan untuk mendapatkan jawaban yang memuaskan atas dua soal esensi, mengapa sejarah terjadi dan bagaimana terjadinya? (Siddiqi, 1983: 1). Para Sejarawan telah menyadari tuntutan ini, sehingga mereka berupaya mengali metode dokumentasi yang sudah lama dipakai menjadi metode historis sistematis, di mana peristiwa sejarah tertentu dikaitkan dengan peristiwa lain dan setiap kasus dicari kejelasannya melalui kasus lain untuk kemudian dideskripsikan. Tetapi melalui cara ini pun jawaban yang dikehendaki semula belum juga ditemukan. Sementara itu orang masih terus saja menyakini dan mengandalkan teori aksiden, yakni totalitas wujud manusia merupakan suatu proses tunggal, sedangkan peristiwa-peristiwa sejarah yang ada hanya dianggap sebagai kenyataan-kenyataan sepintas belaka.
Filsafat sejarah memang dimulai dari perenungan tentang Hukum Yang Menguasai Sejarah. Akan tetapi menganggap hukum aksiden sebagai hukum-sejarah merupakan kekeliruan. Sebabnya ialah:
1. Jika hukum aksiden merupakan hukum-sejarah, maka filsafat sejarah dengan sendirinya sudah terhenti di tempat ia bermula. Sebab jika perbuatan-perbuatan manusia, yang merupakan sejarah itu, tunduk kepada sesuatu yang buta (kebetulan), hal mana juga berarti tidak bergantung kepada suatu hukum tertentu, maka jelas filsafat sejarah tidak dapat menerangkan apa pun mengenai peristiwa-peristiwa itu sendiri.
2. Hidup manusia ini mempunyai makna. Buktinya ialah bahwa sebelum melakukan suatu tindakan-sadar orang akan berpikir dan menentukan tujuan terlebih dahulu. Ungkapan ini tidak bermaksud untuk mengatakan peristiwa-peristiwa kompleks, yang merupakan bahan sejarah itu sebagai peristiwa-peristiwa yang final dan cocok dengan tujuan tadi. Sebab kita sadar, bahwa rente peristiwa dunia atau dinamika alam dalam waktu pastilah tidak bertujuan dalam arti target yang sebelumnya sudah dipahami sebagai sasaran yang jauh namun pasti, ke mana semua kreasi tertuju. “Mengapa peristiwa-peristiwa alam ini bertujuan dalam pengertian di atas adalah berarti menghilangkan sifat kreatifnya. Tidak satu pun bukti historis yang mengatakan ada akal yang mampu menghantarkan manusia yang unik ini mencapai semua tujuannya. Alam ini adalah alam yang berkembang-takberbatas, dan karan itulah di kedalaman wujudnya tersimpan harapan baru. Alam ini hanya bertujuan dalam satu arti saja, yaitu makna yang mengatakan dapat dipilih serta diseleksi dengan sendirinya, dan bawa cara mewujudkan sesuatu yang baru ialah melalui kerja-keras yang memelihara masa silam dan melengkapinya.
3. Bahwa manusia, sebagai sentral filsafat sejarah, bukan hanya sebagai susunan kompleks elektron-elektron dan proton, dan bukan pula hanya merupakan gejala-gejala psikis yang bertenaga. Akan tetapi lebih dari itu manusia adalah ciptaan yang unik dan tak dapat dipahami sepenuhnya secara ilmiah. Manusia selalu sadar bahwa dirinya itu jauh lebih tinggi daripada sekedar inti kimiawi yang digerakkan insting seks dan insting makan-minum (Siddiqi, 1983: 2-3).
Faktanya bahwa penelitian sejarawan yang hanya dikaitkan pada suatu fakta tunggal, dan berusaha memastikan dependensi kausal antara kejadian-kejadain tertentu, tidaklah menjamin meluasnya pendapat bahwa ada perbedaan radikal antara struktur logi dari penjelasan di dalam sejarah dengan ilmu-ilmu umumnya (Nagel, 1959: 205).
Berangkat dari asumsi tersebut dalam tulisan ini, ingin melihat bahwa ada perbedaan mendasar dari kajian keilmuan sejarah dan ilmu-ilmu lainnya—terutama cara menenemukan kebenaran dalam ilmu eksakta. Hal ini dimaksudkan untuk melihat apakah penulisan sejarah itu objektif atau subjektif.

II
Subjektifitas dan Objektifitas Sejarah

There is a fundamental difference between (a) the process of discovering a historical truth and (b) the process of justifying a historical interpretation (Marton White, in Meyerhoff, 1959: 118).
Kadang-kadang benda-benda seperti reruntuh, perkamen dan mata uang tertinggal dari masa lampau. Di luar itu fakta-fakta sejarah diperoleh dari kesaksian dan karenanya merupakan fakta arti (facts of meaning) (Gottschalk, 1985: 27-28). Fakta-fakta semacam itu tidak dapat dilihat, dirasa, dikecap, didengar, atau dicium baunya. Dapat dikatakan bahwa fakta-fakta itu merupakan lambang atau wakil daripada sesuatu yang pernah nyata ada, tetapi fakta-fakta itu tidak memliki kenyataan objektif sendiri. Dengan kata lain, fakta-fakta itu hanya terdapat di dalam pikiran pengamat atau sejarawan (dan karenanya dapat disebut subjektif). Untuk dapat dipelajari secara objektif (yakni dengan maksud memperoleh pengetahuan yang tak memihak dan benar, bebas daripada reaksi pribadi seseorang).
Untuk melakukan pengetahuan yang objektif akan hal tersebut, maka objek tersebut harus mempunyai eksistensi yang merdeka di luar pikiran manusia. Akan tetapi kenangan tidak mempunyai eksistensi di luar pikiran manusia; Sedangkan kebanyakan sejarah didasarkan atas kenangan, yakni kesaksian tertulis atau lisan.
Ada terdapat suatu prasangka kasar terhadap pengetahuan “subjektif”, sebagai sesuatu yang lebih rendah daripada pengetahuan “objektif”, sebagian besar karena kata “subjektif” telah memperoleh arti “khayalan” atau didasari atas pertimbangan-pertimbangan pribadi, dan karenanya tidak benar atau berat sebelah (Gottschalk, 1985: 28). Terlebih lagi seorang sejarawan dalam memilih objek kajian dalam karyanya didorong oleh pertimbangan subjektifitasnya. Akan tetapi ini tidak berarti, bahwa hasil penelitiannya juga bersifat subjektif. Seorang ahli fisika juga ada minat pribadi terhadap gejala-gejala tertentu, tetapi tidak mempengaruhi objektivitas penelitiannya.
Lebih lanjut dijelaskan tentang sumber sejarah dari artifak. Artifak hanya jika dapat ditemukan relik daripada kejadian-kejadian yang menyangkut manusia, seperti pecahan kuali, mata uang, reruntuh, naskah, buku, potret, prangko, sepotong rongsokan, seutas rambut, atau sisa-sisa arkeologis atau antropologis, maka kita akan memiliki objek yang lain daripada kata-kata yang dapat dipelajari oleh sejarawan. Akan tetapi objek-objek itu tidak pernah merupakan kejadian aau peristiwa itu sendiri. Jika bersifat artifact mereka adalah hasil daripada peristiwa.
Semenjak Descartes, para sejarawan dipersalahkan dipersalahkan bertindak subjektif, karena mereka menyeleksi bahannya, memilih apa yang disebut dan apa yang tidak disebut dalam uraiannya mengenai peristiwa-peristiwa pada masa silam. Sejarah, demikian Descartes, merupakan sehelai kain tanpa jahitan atau sambungan; semua kait-mengait. Mengadakan seleksi, berarti mengacaukan sifat asli dari masa silam dan membuktikan subjektivitas sejarawan. Tentu saja, seorang sejarawan tidak dapat menyajikan suatu salinan lengkap mengenai kenyataan historis, dengan segala kekayaannya. Sebuah peta disebut objektif, sekalipun tidak semua bukit kecil dan anak sungai dimasukkan ke dalam peta itu. Sebuah laporan objektif tidak perlu merupakan sebuha laporan yang lengkap, ekshaustif (Ankersmit, 1987: 338).


III
Ernest Nagel dan Objektifitas Sejarah

“French Englightenment” is claimed to have not only a more inclusive scope than term “the live of Voltaire,” but also to possess a fuller intention (Rickert, 1921 in Nagel, 1959: 206).
Nagel ingin menjelaskan bahwa sebuah sejarah begitu luas aspek yang mengelilinginya. Sehingga membutuhkan penalaran yang lebih komprehensif dalam melihat suatu tautan dengan peristiwa-peristiwa yang saling kait-mengait. Maka perlu untuk melihat suatu peristiwa sejarah secara utuh, hal ini dimakusdkan bahwa sejarah ditulis atas dasar data objektif.
Ilmu sejarah itu mempelajari peristiwa masa lampau yang hanya sekali terjadi terjadi (einmalig). Penulisan sejarah tidak dapat begitu saja mengabaikan data empiris, karena ilmu sejarah juga merupakan ilmu empiris yang mengandalkan data objektif yang dapat diverifikasi. Kebenaran sejarah bukan semata-mata merupakan kebenaran pribadi penulis sejarah, melainkan juga merupakan kebenaran “umum” yang didasarkan pada prinsip logis dan bukti empiris yang dapat diandalkan. Fenomena historis itu bukan merupakan fiksi melainkan merupakan fakta.
Masa lampau dalam dirinya sendiri tidak akan bermakna apa-apa bagi manusia. Masa lampau akan menjadi bermakna setelah direkonstruksi dan dieksplanasikan dan “dikaitkan dengan masa kini dan masa depan” (Kartodirdjo, 1986: 9). Kuatnya pengaruh mitologi dalam sejarah juga sangat mempengaruhi cara pandang masyarakat dalam menuturkan sebuah peristiwa, maka apabila perlu juga diperhatikan tentang pentingnya kesadaran sejarah.
Sejarah sebagai salah satu ilmu sosial-humaniora juga merupakan ilmu empiris. Bagaimana pun juga sejarawan bekerja senantiasa mendasarkan diri pada fakta empiris yang terjadi di masa lampau. Fakta masa lampau yang biasanya sepotong-sepotong diupayakan untuk direkonstruksi, sehingga dapat dihasilkan historiografi yang logis dan mampu memberikan eksplanasi atas peristiwa yang dipandang penting di masa lampau sebagai satu kesatuan yang komprehensif.
Kesadaran sejarah ialah kesadaran bahwa suatu peristiwa, atau tampilan tokoh masa lalu, selalu terwujud dalam hubungan dinamik dengan faktor ruang dan waktu, karena itu tidak dapat dipandang dan dinilai sebagai hal yang berdiri sendiri. Akibat logis dari kesadaran sejarah itu ialah sikap penisbian terhadap kejadian dan tokoh masa lalu, dengan memandangnya secara kritis dan dinamis, serta membukanya untuk dipersoalkan, dan terus menerus dipersoalkan kembali (Majid, 2002: 105). Dengan kesadaran itu, sejarah dapat menjadi sumber pelajaran berharga bagi suatu masyarakat; kemampuan melihat adanya hubungan dinamis antara kejadian-kejadain, atau tokoh-tokoh masa lalu, dengan dimensi raung dan waktu yang mempunyai tuntutan-tuntutan tersendiri akan menyajikan suatu kerangka acuan yang subur dan absah utnuk mencari pemecahan masalah sekarang dan menghadapi tantangan masa depan. Sebaliknya, setiap pemutlakan akan membawa ke jalan buntu dalam mencapai pemecahan masalah sekarang dan menghadapi masa depan, karena hilangnya daya kritis dan kemampuan untuk belajar serta menarik pelajaran dari sejarah itu.
Kesadaran sejarah mangasumsikan adanya suatu hukum sejarah yang objektif dan tetap, tidak berubah; sebab, penarikan pelajaran dari kejadain masa lalau dengan sendirinya mengasumsikan adanya suatu pola yang dapat diulang dan dipergunakan untuk ruang dan waktu lain, jika faktor-faktor pembentuknya sama. Dengan kata lain, penarikan pelajaran dari sejarah mengisyaratkan adanya keperluan mengembangkan generalisasi yang bebas titi mangsa (dateless generalizations) (Majid, 2002: 106). Misalnya, tentang apa yang terjadi dalam perubahan budaya, generalisasi serupa itu tidak dapat begitu saja diambil dari disiplin lain an sich manapun, tetapi generalisasi itu perlu untuk meneliti apa yang secara bebas titi mangsa penting kejadian-kejadian budaya manusia yang berlangsung dalam ruang dan waktu.
Lebih lanjut Majid (2002: 106), menuturkan bahwa penelitian sejarah sama dengan tuntutan riset ilmiah manapun, generalisasi serupa itu mengharuskan adanya pandangan perbandingan (comparative perspectives) secukupnya. Pandangan perbandingan itu sendiri mengasumsikan kemampuan menarik nuktah-nuktah persamaan dan perbedaan dari pelbagai peristiwa dalam pelbagai ruang dan waktu itu. Tanpa ada pandangan perbandingan itu, suatu penarikan pelajaran dari sejarah menjadi mustahil—disebabkan oleh pandangan bahwa sejarah bersifat unik untuk ruang dan waktunya sendiri, tanpa kemungkinan adanya persamaan, apalagi pengulangan, untuk ruang dan waktu lain. Itu berarti bahwa sejarah akan menjadi disiplin mati, yang mungkin masih tetap punya segi-segi menarik namun dalam perngertian eksotik, seperti segi menariknya tarian kuda kepang bagi turis Jepang.
Generalisasi yang dimaksudkan dalam penelitian sejarah itu tidaklah sama betul dengan generalisasi yang dilakukan dalam ilmu eksakta. Hal tersebut masih tetap mengandung segi-segi kenisbian, oleh karena itu, kajian sejarah tetap bersifat idiografik, karena peristiwa sejarah yang bersifat khas itu juga berarti merupakan suatu idiom atau bersifat idiomatik, sehingga harus dipahami dan dipelajari pada dirinya sendiri.
Sifat idiomatik peristiwa sejarah adalah karena mustahilnya peristiwa itu dipahami lepas dari konteks ruang dan waktu. Suatu peristiwa kesejarahan tidak semata-mata merupakan sebuah contoh (sample), juga bukan semata-mata merupakan bahwa mentah untuk generaliasi bebas dateless generalizations. Maka, seseorang yang mengetahui sejarah masyarakat atau daerah tertentu atau peristiwa tertentu, kecuali dengan lebih dahulu secara khusus mempelajari masyarakat atau daerah lain itu.
Dengan demikian, suatu generalisasi kesejarahan adalah generaliasi yang masih tetap harus memperhatikan masalah ruang dan waktu. Oleh karena itu, tidak seperti generalisasi dari penelitian dunia benda-benda, generalisasi kesejarahan yang dengan sendirinya selalu oleh seseorang harus selalu diterima dengan sebuah catatan subjektif. Akibatnya, meskipun generalisasi itu tetap diperlukan sebagai syarat kemungkinan menarik pelajaran dari sejarah, namun tetap tidak dapat diulang, atau diterapkan secara mutlak. Dengan begitu, generalisasi sejarah tetap mengandung kenisbian.
Jika segi kenisbian generalisasi atau kesimpulan hukum sejarah itu tidak diakui dan disadari, maka yang dikhawatirkan dari persepsi mitologis kepada sejarah adalah timbulnya sikap-sikap dogmatis, absolutistik. Jadi, sekalipun ada hukum sejarah, namun tidak sepenuhnya sebanding dengan hukum alam. Mungkin saja hukum sejarah itu bersifat pasti, tidak mengenal perubahan, namun karena menyangkut variabel yang begitu luas dan banyak, maka pengetahuan manusia tentang hukum itu akan sebanding dengan batas penguasaannya kepada sejumlah variabel yang dihasilkannya akan mengandung kelunakan—sebagai suatu soft science—dan itu bukan kelemahan (Majid, 2002: 107). Rasionalisme menganggap sejarah tak lain dari kemenangan terus-menerus dari akal dalam diri manusia, dan kemenangan atas kekuatan-kekuatan irrasional di dunia (Kartodirdjo, 1986: 56)
Ch. Beard (Ankersmit, 1987: 338-339), mengatakan bahwa seorang sejarawan selalu subjektif, karena sambil melacak kembali rantai sebab dan akibat ke arah masa silam, ia berhenti pada suatu saat tertentu. Mengapa tidak diteruskan? Jelaslah, bahwa kita, bila ingin melacak sebab-sebab Revolusi Prancis, tidak perlu kembali ke zaman Bapak Adam. Ketidaklengkapan suatu uraian historis, tidaklah berarti subjektif. Hal ini menjelaskan bahwa melihat sejarah tidak boleh lepas dari ruang dan waktu, di mana peristiwa sejarah itu terjadi. Konteks sosial, budaya dan keadaan ekonomi merupakan data yang bisa dijadikan sebagai data yang sifatnya objektif. Sejalan dengan ini Popper (1985: 58) mengatakan bahwa satu-satunya hukum yang universal dalam masyarakat adalah hukum sejarah. Hukum-hukum ini adalah hukum mengenai proses, perubahan dan perkembangan dan bukan hukum semu mengenai hal-hal yang seolah-olah konstan atau serupa.
Popper ingin mengatakan bahwa melihat sejarah penting kiranya mencari sebab dari proses itu dan kerjanya kekuatan-kekuatan yang mengakibatkan perubahan terjadi. Maka penting untuk membuat hipotesa mengenai trend-trend umum yang mendasari perkembangan sosial, supaya dengan mendeduksi ramalan-ramalan dari hukum-hukum umum tersebut manusia dapat menyesuaikan dirinya pada perubahan-perubahan yang segera akan terjadi. Lovejoy (1959: 173), mengatakan bahwa melihat sejarah haruslah berangkat dari konteks kekinian. Karena sejarah tidak hanya melihat masa lampau, melainkan juga ke masa yang akan datang. Ilmu ini meneliti pengaruh-pengaruh dan hukum-hukum perkembangan sosial.
IV
Kesimpulan

Menanamkan kesadaran sejarah dalam masyarakat menjadi sebuah keharusan. Suatu bangsa akan sulit berkembang jika kesadaran itu tidak ada atau lemah. Ini karena kesadaran sejarah itulah kita dapat melakukan akumulasi pengalaman kemanusiaan—suatu pendekatan yang ekonomis atau hemat untuk menumbuhkan budaya dan peradaban. Tapi, untuk tujuan itu, masalah kemutlakan dan kenisbian yang menyangkut pengalaman hidup manusia dalam sejarah tetaplah harus diingat. Bahaya kemandekan perkembangan, karena tidak adanya kemampuan mengambil pelajaran dari sejarah, sama besarnya dengan bahaya pemutlakan pengambilan pelajaran itu. Selanjutnya, kesadaran sejarah juga menuntut adanya konsistensi pemikiran yang juga berarti memerlukan jenis keahlian khusus. Seperti dalam sebuah ungkapan bijak, kalau suatu perkara diserahkan kepada bukan ahlinya, tunggulah saat kehancurannya.
Sejarah adalah sebuah keutuhan yang hanya hanya mampu dideskripsikan dengan skala lebih kecil. Maka penting kiranya dalam kajian sejarah, memberi kejelasan pendekatan dari sisi yang terang. Penelitian sejarah juga membatasi objek kajian, misalnya, sejarah dalam konteks politik, ekonomi, atau perkembangan kebudayaan. Hal demikian ini membuktikan bahwa suatu penelitian sejarah adalah objektif, karena memberi batasan konteks ruang dan waktu, sehingga apa yang coba diungkapkan dapat diverifikasi oleh orang lain.
Teori ideografik dapat menjelaskan secara lebih komprehensif mengenai data yang merupakan fakta sejarah. Dengan demikian keutuhan dan objektifitas sebuah data penelitian sejarah dapat dijadikan sebuah gambaran akan realitas di masa lalu. Dan dari hasil penelitian tersebut, kita dapat mengambil pelajaran berharga demi menyongsong masa depan yang lebih baik, dengan belajar dari sejarah masa lalu. Sebuah peradaban akan maju apabila tahu perkembangan sejarah masa lalu yang menyelimutinya.



Daftar Pustaka
Ankersmit, F.R. 1987. Denken Over Geschiedenis: Een Oversicht van Moderne Geschiedfilosofische Opvattingen. Diterjemah oleh Dick Hardoko. Refleksi tentang Sejarah: Pendapat-Pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Gottschalk, Louis. 1985. Understanding History: A Primer of Historical Method. Diterjemah oleh Nugroho Notosusanto. Mengerti Sejarah. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Kartodirdjo, Sartono. 1986. Ungkapan-Ungkapan Filsafat Sejarah Barat dan Timur: Penjelasan Berdasarkan Kesadaran Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Lovejoy, Arthur O. 1959. “Present Standpoints and Past History.” in Hans Meyerhoff (commentator). The Philosophy of History in Our Time: An Anthology Selected and with an Introduction and Commentary by Hans Meyerhoff. New York: Doubleday Anchor Books. page. 173-188.
Majid, Nurcholish. 2002. Fatsoen. Jakarta: Republika Press.
Nagel, Ernest. 1959. “The Logic of Historical Analysis.” in Hans Meyerhoff (commentator). The Philosophy of History in Our Time: An Anthology Selected and with an Introduction and Commentary by Hans Meyerhoff. New York: Doubleday Anchor Books. page. 203-216.
Popper, Karl R. 1985. Gagalnya Historisisme. Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES).
Shiddiqi, Abdul Hamid. 1983. تفسيرالتارخى ‘tafsirul al-tarikh’ Diterjemah oleh Moh. Nabhan Husein. Islam dan Filsafat Sejarah. Jakarta: Media Dakwah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar