Selasa, 19 Januari 2010

FILSAFAT PEMIKIRAN PLATO (Dampaknya Terhadap Perkembangan Pemikiran Filsafat Barat)


Oleh:
Ramli Semmawi

I
Pendahuluan

Filosof Yunani kuno Plato tak pelak lagi cikal bakal filosof politik Barat dan sekaligus dedengkot pemikiran etika dan metafisika mereka. Pendapat-pendapatnya di bidang ini sudah terbaca luas lebih dari 2300 tahun. Tak pelak lagi, Plato berkedudukan bagai bapak moyangnya pemikir Barat, Plato dilahirkan dari kalangan famili Athena kenamaan sekitar tahun 427 SM. Di masa remaja dia berkenalan dengan filosof kesohor Socrates yang jadi guru sekaligus sahabatnya. Tahun 399 SM, tatkala Socrates berumur tujuh puluh tahun, dia diseret ke pengadilan dengan tuduhan tak berdasar berbuat brengsek dan merusak akhlak angkatan muda Athena. Socrates dikutuk, dihukum mati. Pelaksanaan hukum mati Socrates—yang disebut Plato "orang terbijaksana, terjujur, terbaik dari semua manusia yang saya pernah kenal"—membikin Plato benci kepada pemerintahan demokratis (Hatta, 1986: 88).
Tak lama sesudah Socrates mati, Plato pergi meninggalkan Athena dan selama sepuluh-duabelas tahun mengembara ke mana kaki membawa. Sekitar tahun 387 SM dia kembali ke Athena, mendirikan perguruan di sana, sebuah akademi yang berjalan lebih dari 900 tahun. Plato menghabiskan sisa umurnya yang empat puluh tahun di Athena, mengajar dan menulis ihwal filsafat. Muridnya yang masyhur, Aristoteles, yang jadi murid akademi di umur tujuh belas tahun sedangkan Plato waktu itu sudah menginjak umur enam puluh tahun. Plato tutup mata pada usia tujuh puluh.
Plato menulis tak kurang dari tiga puluh enam buku, kebanyakan menyangkut masalah politik dan etika selain metafisika dan teologi. Tentu saja mustahil mengikhtisarkan isi semua buku itu hanya dalam beberapa kalimat. Tetapi, dengan risiko menyederhanakan pikiran-pikirannya, saya mau coba juga meringkas pokok-pokok gagasan politiknya.yang dipaparkan dalam buku yang kesohor, Republik, yang mewakili pikiran-pikirannya tentang bentuk masyarakat yang menurutnya ideal. Bentuk terbaik dari suatu pemerintahan, usul Plato, adalah pemerintahan yang dipegang oleh kaum aristokrat. Yang dimaksud aristokrat di sini bukannya aristokrat yang diukur dari takaran kualitas, yaitu pemerintah yang digerakkan oleh putera terbaik dan terbijak dalam negeri itu. Orang-orang ini mesti dipilih bukan lewat pungutan suara penduduk melainkan lewat proses keputusan bersama. Orang-orang yang sudah jadi anggota penguasa atau disebut "guardian" harus menambah orang-orang yang sederajat semata-mata atas dasar pertimbangan kualitas.
Politeia en auton, bersemayamnya kecenderungan untuk hidup ber-polis dalam diri manusia. Bagi Plato, polis memang tidak dapat dilihat terlepas dari individu manusia, maupun sebaliknya manusia adalah polis yang kecil, sedangkan polis adalah manusia yang besar (Kusumohamidjojo, 2004: 35). Zaman (Yunani) kuno bermula pada abad ke-6 SM sampai abad ke-5 M, tatkala Kekaisaran Romawi runtuh (Darmodiharjo, 2004: 88). Pada awal zaman kuno ini, rakyat Yunani sudah hidup dalam polis-polis yang satu sama lain memiliki penguasa, sistem pemerintahan, dan sistem hukum tersendiri.
Semula penguasa polis memegang kekuasaan tunggal. Baru pada abad ke-5, setelah munculnya kaum Sofisme, polis-polis tersebut menerapkan prinsip-prinsip demokrasi. Tentu saja prinsip-prinsip itu masih belum matang, karena kepercayaan manusia yang masih sangat besar terhadap kekuatan supranatural, seperti keyakinan terhadap dewa-dewi Olimpus (Darmodiharjo, 2004: 88). Namun, Plato melihat bahwa kematian Socrates telah menjadi kegagalan kaum sofis merumuskan tujuan polis untuk memberikan keadilan.
Menurut Plato bentuk-bentuk pemerintahan yang mungkin dijalankan. Pada dasarnya, ada dua macam pemerintahan yang dapat diselenggarakan: pemerintahan yang dibentuk melalui jalan hukum, dan pemerintahan yang terbentuk tidak melalui jalur hukum. Jika pemerintahan terbentuk melalui jalan hukum dan dijalankan oleh shopia dari seseorang, bentuknya adalah monarcheia. Jika pemerintahan terbentuk oleh beberapa orang kita akan memperoleh aristokrasi (artinya adalah yang terbaik). Jika pemerintahan dijalankan demi kehormatan, maka yang terselenggara adalah timokratein. Sedangakan massa yang miskin yang berkuasa melalui jalan hukum akan membuat negara diperintah oleh demokrasi. Di samping ketiga bentuk pemerintahan yang baik itu, juga dimungkinkan tiga bentuk pemerintahan yang tidak baik karena dicapai tidak melalui jalur hukum: tirani (tyrannis) jika pemerintahan dipegang oleh satu orang saja; oligarki jika pemerintahan dikuasai oleh sekelompok orang, dan okhlokrasi jika pemerintahan dilaksanakan oleh massa (Kusumohamidjojo, 2004: 36-37).

II
Riwayat Hidup Plato

Plato (428-348 SM) adalah filsuf Yunani, lahir sebagai keluarga Aristokrat di Athena (Speake, 1984: 268). Semula ia ingin bekerja sebagai seorang politikus, akan tetapi kematian Socrates memadamkan ambisinya untuk menjadi politikus (Hadiwijono, 2006: 38). Pemikiran-pemikiran Plato sangat dipengaruhi oleh Scorates (Speake, 1984: 268), karena selama 8 tahun ia menjadi murid Socrates. Plato adalah seorang penulis yang imajinatif, dengan kecerdasan dan daya pukau yang luar biasa (Russel, 2006: 113). Banyak sekali karyanya yang masih utuh. Dari sekian karyanya yang paling populer ialah Apologia, Politeia, Sophistes, Timaois (Hadiwijono, 2006: 39).
Kematian Socrates sangat mempengaruhi pandangan Plato tentang negara. Socrates dihukum mati di Athena, yang menggunakan sistem pemerintahan demokratis (Russel, 2006: 101). Kematian tersebut berdampak pada diri Plato, sehingga dia mencoba mencari konsep negara yang ideal. Negara ideal menurut Plato tergambar dari konsep negara Sparta. Negara Sparta memiliki undang-undang yang rumit. Ada dua raja yang berasal dari keluarga yang berbeda, dan digantikan secara turun temurun. Salah satu raja memimpin pasukan di masa perang, namun di masa damai kekuasaannya dibatasi. Mereka menjadi anggota Dewan sesepuh, suatu lembaga yang terdiri dari tiga puluh orang (termasuk raja); dua puluh delapan anggota lainnya harus berusia lebih dari enam puluh tahun, dan diangkat seumur hidup oleh seluruh warganegara, namun hanya yang termasuk keluarga bangsawan (Russel, 2006: 130; Hatta, 1986: 89).
Selain raja, Dewan Sesepuh, dan Majelis, terdapat pula lembaga pemerintahan keempat yang khas Sparta, yakni lima ephor. Lembaga ini dipilih dari antara semua warganegara lewat metode diundi (Russel, 2006: 131). Para ephor inilah yang merupakan unsur “demokratis” dalam undang-undang Sparta, yang agaknya dimaksudkan untuk mengimbangi kekuasaan raja.
Plato begitu kagum dengan Sparta karena stabilitas negara tersebut. Sparta telah menjadi ideal bagi Plato karena selama periode yang panjang bangsa tersebut telah berhasil mencapai tujuan utamanya, yakni terciptanya suatu ras yang terdiri dari para serdadu yang tak tertaklukkan (Russel, 2006: 132). Plato pun, akhirnya, mengidealisasikan secara filosofis atas negara Sparta dalam karyanya “Republic” (Russel, 2006: 135). Kebesaran Lycurgus, yang bijak dan gagah perkasa dalam perang, menjadi sosok perpaduan raja-filsuf.

III
Epistemologi Pemikiran Plato

Plato dapat dikatakan sebagai filsuf pertama yang secara jelas mengemukakan epistemologi dalam filsafat, meskipun ia belum menggunakan secara resmi istilah epistemologi ini. Filsuf Yunani berikutnya yang berbicara tentang epistemologi adalah Aristoteles. Ia murid Plato dan pernah tinggal bersama Plato selama kira-kira 20 tahun di Akademia. Pembahasan tentang epistemologi Plato dan Aristoteles akan lebih jelas dan ringkas kalau dilakukan dengan cara membandingkan keduanya.
Idea merupakan inti dasar dari seluruh filsafat yang diajarkan oleh Plato. Ia beranggapan bahwa idea merupakan suatu yang objektif, adanya idea terlepas dari subjek yang berfikir. Idea tidak diciptakan oleh pemikiran individu, tetapi sebaliknya pemikiran itu tergantung dari idea-idea. Ia memberikan beberapa contoh seperti segitiga yang digambarkan di papan tulis dalam berbagai bentuk itu merupakan gambaran yang merupakan tiruan tak sempurna dari idea tentang segituga. Maksudnya adalah berbagai macam segitiga itu mempunyai satu idea tentang segitiga yang mewakili semua segitiga yang ada (Hatta, 1986: 97).
Dalam menerangkan idea ini Plato menerangkan dengan teori dua dunianya, yaitu dunia yang mencakup benda-benda jasmani yang disajikan pancaindera, sifat dari dunia ini tidak tetap terus berubah, dan tidak ada suatu kesempurnaan. Dunia lainnya adalah dunia idea, dan dunia idea ini semua serba tetap, sifatnya abadi dan tentunya serba sempurna. Idea mendasari dan menyebabkan benda-benda jasmani. Hubungan antara idea dan realitas jasmani bersifat demikian rupa sehingga benda-benda jasmani tidak bisa berada tanpa pendasaran oleh idea-idea itu. Hubungan antara idea dan realitas jasmani ini melalui 3 cara, pertama, idea hadir dalam benda-benda konkrit. Kedua, benda konkrit mengambil bagian dalam idea, disini Plato memperkenalkan partisipasi dalam filsafat. Ketiga, Idea merupakan model atau contoh bagi benda-benda konkrit. Benda-benda konkrit itu merupakan gambaran tak sempurna yang menyerupai model tersebut (Hatta, 1986: 102; Lorens Bagus, 1996: 851).
Pandangan tentang dunia, menurut Plato, Ada 2 dunia: dunia ide & dunia sekarang (semu) sementara dalam pandangan Aristoteles, Hanya 1 dunia: Dunia nyata yang sedang dijalani. Kenyataan sejati, menurut Plato, Ide-ide berasal dari dunia ide. Sementara dalam kacamata Aristoteles, segala sesuatu yang ada di alam bisa diindera.
Pandangan tentang manusia, menurut Plato, Terdiri dari badan dan jiwa. Jiwa abadi; badan fana (tidak abadi), Jiwa terpenjara oleh badan. Sementara dalam pandangan Aristoteles, badan dan jiwa sebagai satu kesatuan tak terpisahkan. Asal pengetahuan, menurut Plato, dunia ide, namun tertanam dalam jiwa setiap manusia. Sementara dalam pandangan Aristoteles, kehidupan dunia dan alam nyata. Cara meraih pengetahuan, menurut Plato, terpancar dari alam jiwa (Anamnesis). Sementara dalam pandangan Aristoteles, observasi dan abstraksi lalu diolah dengan logika.
Perbedaan epistemologi Plato dan Aristoteles ini memiliki pengaruh besar terhadap para filsuf modern. Idealisme Plato mempengaruhi filsuf-filsuf Rasionalis seperti Spinoza, Leibniz, dan Whitehead. Sedangkan pandangan Aristoteles tentang asal dan cara memperoleh pengetahuan mempengaruhi filsuf-filsuf Empiris seperti Locke, Hume, dan Berkeley.
Antara abad 17 hingga akhir abad ke-19, masalah utama yang muncul dalam pembahasan epistemologi adalah resistensi antara kubu rasionalis vis-à-vis kubu empiris (inderawi-persepsi). Filsuf Francis, René Descartes (1596-1650), filsuf Belanda, Baruch Spinoza (1632-1677), dan filsuf Jerman, Wilhelm Leibniz (1646-1716) adalah para pemimpin kubu rasionalis. Mereka berpandangan bahwa sumber utama dan pengujian akhir ilmu pengetahuan adalah logika deduktif (baca: qiyas) yang bersandarkan kepada prinsip-prinsip swabukti (badihi) atau axioma-axioma. Sementara orang-orang seperti, Francis Bacon ( 1561-1626) and John Locke (1632-1704) keduanya adalah filsuf Inggris berkeyakinan bahwa sumber utama dan pengujian akhir ilmu pengetahuan adalah bersandar kepada pengalaman, persepsi dan inderawi.
Filsuf Francis René Descartes secara rigoris menggunakan metode deduksi dalam jelajah filsafatnya. Barangkali Descartes ini dikenal baik atas karya pionirnya untuk bersikap skeptis dalam berfilsafat. Dialah yang pertama kali memperkenalkan metode sangsi dalam investigasi terhadap ilmu pengetahuan.
Descartes yang kerap disebut sebagai Bapak Filsafat Modern (sekaligus filsafatnya kemudian dikenal sebagai Cartesians) ini dalam mengusung metode rasionalnya, dia menggunakan metode sangsi dalam menyikapi pelbagai fenomena atau untuk mencerap ilmu pengetahuan. Postulat, Cogito Ergo Sum adalah milik Descartes. Rumusan postulat ini yang menemaninya untuk menyingkap ilmu pengetahuan. Menurut Descartes segala sesuatu yang berada di dunia luar harus disangsikan dan diragukan.
Pandangan Descartes tentang manusia bersifat dualisme. Ia melihat manusia sebagai dua substansi: jiwa dan tubuh. Jiwa adalah pemikiran dan tubuh adalah keluasan. Tubuh tidak lain adalah suatu mesin yang dijalankan jiwa. Hal ini dipengaruhi oleh epistemologinya yang memandang rasio sebagai hal yang paling utama pada manusia. Empirisme pertama kali diperkenalkan oleh filsuf dan negarawan Inggris Francis Bacon pada awal-awal abad ke-17, akan tetapi John Locke yang kemudian mendesainnya secara sistemik yang dituangkan dalam bukunya “Essay Concerning Human Understanding (1690). John Locke memandang bahwa akal manusia pada awal lahirnya adalah ibarat sebuah tabula rasa, sebuah batu tulis kosong tanpa isi, tanpa pengetahuan apapun. Lingkungan dan pengalamanlah yang menjadikannya berisi. Pengalaman inderawi menjadi sumber pengetahuan bagi manusia dan cara mendapatkannya lewat observasi dan pemanfaatan seluruh indera manusia. John Locke adalah orang yang tidak percaya terhadap konsepsi intuisi dan batin. Filsuf empirisme lainnya adalah Hume. Ia memandang manusia sebagai sekumpulan persepsi (“a bundle or collection of perceptions”). Manusia hanya mampu menangkap kesan-kesan saja lalu menyimpulkan kesan-kesan itu seolah-olah berhubungan. Pada kenyataannya, menurut Hume, manusia tidak mampu menangkap suatu substansi. Apa yang dianggap substansi oleh manusia hanyalah kepercayaan saja. Begitu pula dalam menangkap hubungan sebab-akibat. Manusia cenderung menganggap dua kejadian sebagai sebab dan akibat hanya karena menyangka kejadian-kejadian itu ada kaitannya, padahal kenyataannya tidak demikian. Selain itu, Hume menolak ide bahwa manusia memiliki kedirian (self). Apa yang dianggap sebagai diri oleh manusia merupakan kumpulan persepsi saja.

IV
Negara Ideal Menurut Plato

Dalam buku Politeia Plato melukiskan suatu model tentang negara yang adil. Negara harus diatur secara seimbang menurut bagian-bagiannya, supaya adil. Dalam negara macam itu tiap-tiap golongan mempunyai tempat alamiahnya. Timbullah keadilan, bila tiap-tiap kelompok (filsuf, tentara, pekerja) berbuat apa yang sesuai dengan tempatnya dan tugasnya (Huijbers, 2007: 23).
Plato percaya bahwa bagi semua orang, entah dia lelaki atau perempuan, mesti disediakan kesempatan memperlihatkan kebolehannya selaku anggota "guardian". Plato merupakan filosof utama yang pertama, dan dalam jangka waktu lama nyatanya memang cuma dia, yang mengusulkan persamaan kesempatan tanpa memandang kelamin. Untuk membuktikan persamaan pemberian kesempatannya, Plato menganjurkan agar pertumbuhan dan pendidikan anak-anak dikelola oleh negara. Anak-anak pertama-tama kudu memperoleh latihan fisik yang menyeluruh, tetapi segi musik, matematika dan lain-lain disiplin akademi tidak boleh diabaikan. Pada beberapa tahap, ujian ekstensif harus diadakan. Mereka yang kurang maju harus diaalurkan untuk ikut serta terlibat dalam kegiatan ekonomi masyarakat, sedangkan orang-orang yang maju harus terus melanjutkan dan menerima gemblengan latihan. Penambahan pendidikan ini harus termasuk bukan cuma pada mata pelajaran akademi biasa, tetapi juga mendalami filosofi yang oleh Plato dimaksud menelaah doktrin bentuk ideal faham metafisikanya.
Pada usia tiga puluh lima tahun, orang-orang ini yang memang sudah betul-betul meyakinkan mampu menunjukkan penguasaannya di bidang teori-teori dasar, harus menjalani lagi tambahan latihan selama lima belas tahun, yang mesti termasuk bekerja mencari pengalaman praktek. Hanya orang-orang yang mampu memperlihatkan bahwa mereka bisa merealisir dalam bentuk kerja nyata dari buku-buku yang dipelajarinya dapat digolongkan kedalam "kelas guardian." Lebih dari itu, hanya orang-orang yang dengan jelas bisa. menunjukkan bahwa minat utamanya adalah mengabdi kepada kepentingan masyarakatlah yang bisa diterima ke dalam. "kelas guardian."
Plato menyarankan sistem komunisme sepenuhnya bagi kelas pemimpin, dan juga untuk kelas serdadu. Para pemimpin hendaknya menempati rumah kecil dan mengkonsumsi makanan sederhana; mereka hendaknya hidup dalam asrama, makan bersama-sama secara berkelompok (Russel, 2004: 150). Kemelaratan dan kekayaan merupakan sesuatu yang berbahaya, dan dalam negeri Plato keduanya tidak boleh ada (Russel, 2004: 150). Pemikiran Plato tersebut sangat mencerminkan bahwa dia terpangaruh oleh konsep negara Lycurgus. Lycurgus, menurut Plutarchus, benar-benar mengatur warga-negaranya sedemikian rupa sehingga mereka tak menghendaki dan tak bisa hidup sendirian, kecuali hidup dalam keadaan di mana manusia saling terikat satu sama lain, dan senantiasa berkelompok bersama-sama, seperti lebah-lebah yang senantiasa terikat dengan ratunya (Russel, 2006: 139).
Dalam konteks doktrin ide Plato, ide keadilan bisa ditunjukkan dalam kaitannya dengan ide tentang polis, karena perenungan gagasan tentang polis ini menghasilkan sebuah citra di mana hukum dan perundangan nyaris tidak memainkan peran sama sekali. Pemikiran Plato tentang polis sangat dicirikan dengan kekuasaan filsuf-raja (Friedrich, 2004: 19).
Lebih lanjut untuk mengefektifkan kelembagaan kenegaraan, Plato membagi penduduk dalam tiga golongan:
1. Golongan Bawah, yaitu golongan rakyat jelata, yang merupakan petani, tukang dan saudagar. Kerja mereka adalah menghasilkan keperluan sehari-hari bagi ketiga golongan. Mereka merupakan dasar ekonomi bagi masyarakat. Karena mereka menghasilkan mereka tidak boleh ikut serta dalam pemerintahan. Seabagai golongan ayang berusaha mereka boleh mempunyai hak milih dan harta boleh berumah tangga sendiri.
2. Golongan tengah, yaitu penjaga atau pembantu dalam urusan negara. Tugas mereka adalah mempertahankan negara dari serangan musuh. Dan menjamin supaya undang-undang dipatuhi oleh rakyat. Dasr kerjanya mengabdi kepada negara. Oleh karena itu mereka tinggal bersama dalam asrama dan tidak boleh berkeluarga. Hidup mereka didasarkan atas perbaikan jenis manusia dan hubungan mereka dengan perempuan diatur oleh negara dengan pengawasan yang rapih. Anak yang lahir dari hubungan mereka dipugut dan dididik oelh negara. Anak itu tidak tahu saiap bapaknya dan siapa ibunya. Semua anak yang lahir mengaku satu sama lain bersaudara berkakak adik. Taip orang alaki-laki dipandang bapak dan tiap wanita dipandang ibu. Dengan begitu diharapkan akan timbul rasa persaudaraan antara segala manusia.
3. Golongan Atas, yaitu kelas pemerintah atau filosof. Mereka terpilih dari yang cakap dan terbaik dari kelas penjaga, setelah menempuh pendidikan dan latihan yang spesial. Tugas mereka adalah membuat undang-undang dan mengawasi pelaksanaanya. Mereka memangku jabatan yang tertinggi. Selain itu mereka mempergnakan waktu luang untuk memperdalam filosofi dan ilmu pengetahuan tentang idea kebaikan. Mereka harus menyempurnakan budi yang tepat bagi golongan mereka yaitu budi kebijaksanaan (Hadiwijono, 2006: 44; Lorens Bagus, 1996, 852).
Dalam negara yang ideal golongan pengusaha menghasilkan tetapi tidak memerintah. Golongan penjaga melindungi tapi tidak memerintah. Golongan cerdik pandai di beri makan dan dilindungi dan mereka memerintah. Ketiga macam budi yang dimiliki masing-masing golongan yaitu bijaksana berani dan menguasai diri dapat menyelenggarakan dengan kerja sama budi keempat bagi masyarakat yaitu keadilan.
Ketika Plato menulis dialog yang dikenal berjudul politeia, atau “konstitusi” (bukan republik) (Friedrich, 2004: 19), dia yakin bahwa ini merupakan problema yang sangat sulit, namun bukan berarti tidak dapat dipecahkan. Plato yakin solusinya ialah bahwa filsuf mesti menjadi penguasa atau filsuf penguasa, atau orang-orang yang mengupayakan kearifan melalui pemahaman sejati mengenai gagasan. Dia yakin bahwa jika kebetulan seseorang yang memiliki kekuasaan tak terbatas dalam sebuah polis bertemu dengan pencari kearifan itu, penciptaan masyarakat yang benar-benar baik bisa diharapkan terlaksana. Plato, seperti diketahui, mengupayakannya sendiri dan bertindak sejalan dengan keyakinan ini ketika dia menerima undangan dari rekannya Dion untuk bekerja pada Dionysius I dan Dionysius II Syracuse dengan harapan akan menciptakan polis Syracuse dalam gambarannya. Namun usaha itu gagal (Friedrich, 2006: 20).
Akibatnya, Plato kemudian kembali kepada doktrin Yunani tradisional yang menyatakan bahwa tatanan polis yang baik hanya bisa diwujudkan dengan membuat peraturan mendasar atau nomos. Namun nomos ini dipandang Plato sebagai partisipasi dalam gagasan keadilan, dan melalui partisipasi ini ia pada gilirannya berperanserta dalam gagasan kebijakan. Sebuah polis bukanlah gagasan itu sendiri, melainkan ia “berpartisipasi” dalam gagasan itu (Friedrich, 2004: 20). Plato menyatakan tujuan hidup ialah eudaimonia atau hidup lebih baik (Hadiwijono, 2006: 43).
Keadilan menurut Plato, bahwa negara harus diselenggarakan menurut cara-cara tradisional, atau menurut cara yang ia anjurkan, untuk dapat merealisasikan sejumlah cita-cita etis seutuhnya. Dikatakan bahwa keadilan terwujud pada kenyataan di mana setiap orang menjalankan tugasnya masing-masing. Di negara yang tak mengalami perubahan dari generasi ke generasi, seperti di Mesir purba dan kerajaan Inca, tugas seseorang tak berbeda dengan tugas ayahnya, dan tak ada persoalan yang timbul. Namun, di negara yang dibayangkan Plato tak seorang pun yang mempunyai ayah yang resmi. Tugas warganegara dengan demikian harus ditentukan baik berdasarkan seleranya sendiri atau berdasarkan keputusan negara sesuai dengan bakatnya. Pilihan kedua inilah yang dikehendaki Plato (Russel, 2004:155).
Plato menjelaskan tentang otoritas hukum, dengan memberi contoh, bahwa hukum yang mengatur manusia untuk menikah sebelum usia tiga puluh lima tahun harus diimplementasikan dengan sebuah pembukaan (preambule) yang menjelaskan perlunya kepala rumah tangga demi keberlangsungan masyarakat (Friedrich, 2004: 22). Penjelasan yang demikianlah inilah, hukum dapat ditegakkan dan dijaga. Gambaran hukum tersebut mencerminkan bagaimana pengaruh Sparta terhadap pemikirannya tentang negara.
Pemikiran yang dituangkannya dalam Republic terbaca luas selama berabad-abad. Tetapi harus dicatat, sistem politik yang dianjurkan didalamnya belum pernah secara nyata dipraktekkan sebagai model pemerintahan mana pun. Selama masa antara jaman Plato hingga kini, umumnya negara-negara Eropa menganut sistem kerajaan. Di abad-abad belakangan ini beberapa negara menganut bentuk pemerintah demokratis. Ada juga yang menganut sistem pemerintahan militer, atau di bawah tiran demagog seperti misalnya Hitler dan Mussolini. Tak satu pun pemerintahan-pemerintahan ini punya kemiripan dengan republik ideal Plato. Teori Plato tak pernah jadi anutan partai politik mana pun, atau jadi basis gerakan politik seperti halnya terjadi pada ajaran-ajaran Karl Marx, apakah dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa hasil karya Plato, kendati diperbincangkan dengan penuh penghargaan, sebenarnya sepenuhnya disisihkan orang dalam praktek? Saya pikir tidak.
Memang benar, tak satu pun pemerintahan sipil di Eropa disandarkan atas model Plato secara langsung. Namun, terdapat persamaan yang mengagumkan antara posisi gereja Katolik di Eropa abad tengah dengan "kelas guardian" Plato. Gereja Katolik abad pertengahan terdiri dari kaum elite yang mempertahankan diri sendiri agar tidak layu dan tersisihkan, yang anggota-anggotanya mendapat latihan-latihan filosofis resmi. Pada prinsipnya, semua pria, tak peduli dari mana asal-usulnya dapat dipilih masuk kependetaan (meski tidak untuk wanita). Juga pada prinsipnya, para pendeta itu tak punya famili dan memang diarahkan semata-mata agar mereka memusatkan perhatian pada kelompok mereka sendiri, bukannya nafsu keagungan disanjung-sanjung.
Peranan partai Komunis di Uni Soviet juga ada yang membandingkannya dengan "kelas guardian" Plato dalam dia punya republik ideal. Di sini pun kita temukan kelompok elite yang kesemuanya terlatih dengan filosofi resmi. Gagasan Plato juga mempengaruhi struktur pemerintahan Amerika Serikat. Banyak anggota konvensi konstitusi Amerika mengenal dan tak asing dengan gagasan-gagasan politik Plato. Dia maksud, sudah barang tentu, agar Konstitusi Amerika Serikat membuka kemungkinan menggali dan mempengaruhi kehendak rakyat. Dan juga diinginkan sebagai sarana memilih orang-orang yang paling bijak dan paling baik untuk memerintah negara.
Kesulitan menentukan arti penting pengaruh Plato sepanjang masa—meski luas dan menyebar—adalah ruwet dipaparkan dan bersifat tidak langsung. Sebagai tambahan teori politiknya, diskusinya di bidang etika dan metafisika telah mempengaruhi banyak filosof yang datang belakangan. Apabila Plato ditempatkan pada urutan sedikit lebih rendah ketimbang Aristoteles dalam daftar sekarang ini, hal ini terutama lantaran Aristoteles bukan saja seorang filosof melainkan pula seorang ilmuwan yang penting. Sebaliknya, penempatan Plato lebih tinggi urutannya ketimbang pemikir-pemikir seperti John Locke, Thomas Jefferson dan Voltaire, sebabnya lantaran tulisan-tulisan ihwal politiknya mempengaruhi dunia cuma dalam jangka masa dua atau tiga abad, sedangkan Plato punya daya jangkau lebih dari dua puluh tiga abad.
Lebih lanjut Plato menjelaskan, legislasi atau penyusunan undang-undang yang hanya melayani kepentingan kelompok dia dianggap sebagai sesuatu yang wajar, namun dia tidak menganggapnya sebagai legislasi yang berkualitas hukum sejati. Dalam pernyataan yang mengarah kepada hukum alam, Plato menemukan landasan untuk menegaskan bahwa pemerintah hanyalah pelayan hukum (Friedrich, 2004: 22). Segala kebaikan yang telah dipersiapkan oleh tuhan bagi komunitas sejati, yakni kebahagiaan sejati warga negara, hanya bisa diwujudkan dalam negara di mana “hukum adalah penguasa atas penguasa” (Friedrich, 2004: 22), atau dengan kata lain, negara yang yang pemerintahannya tunduk kepada hukum. Karena hukum merupakan sarana untuk memastikan bahwa manusia tidak hanya hidup namun juga hidup sejahtera (eu zen) dan menjadi seluhur mungkin. Plato menyatakan, bahwa hukum dan perundang-undangan merupakan objek dari spekulasi filosofis yang bebas, dan keduanya hanya bisa diperoleh dari nalar dan gagasan tentang kebaikan. Bahkan hukum yang benar hanyalah perkiraan tentang kebenaran abadi (Friedrich, 2004: 23).
Bahwa Plato menekankan kepada kebenaran yang di luar dunia ini, hal itu tidak berarti, bahwa ia bermaksud melarikan diri dari dunia. Dunia yang kongkrit ini dianggap penting juga. Hanya saja, hal yang sempurna tidak dapat dicapai di dalam dunia ini. Namun kita harus berusaha hidup sesempurna mungkin. Hal ini tampak ajarannya tentang negara. Dapat dikatakan bahwa seluruh usahanya dimaksudkan untuk memperbaiki negara. Pemikiran filsafat hukum dan negara Plato terkait erat dengan etika (Friedrich, 2004: 18). Tugas-tugas etis manusia dikaitkan dengan kedudukannya sebagai warga negara (Hadiwijono, 2006: 43).
Persoalan pokok di dalam negara ialah keselamatan para orang yang diperintah, bukan keselamatan para orang yang memerintah (Hadiwijono, 2006: 43). Para orang yang memerintah harus mempersembahkan hidup mereka bagi pemerintahan, dengan mengorbankan kepentingan diri sendiri.
Tugas para negarawan adalah menciptakan keselarasan antara semua keahlian, agar supaya keselarasan itu terjamin. Umpamanya: jenderal harus pandai berperang, negarawan harus pandai memutuskan bilamana orang harus berperang, hakim harus pandai mengadili yang baik, dan sebagainya.

V
Etika Menurut Plato

Pendapat Plato seterusnya tentang etik bersendi ada ajarannya tentang idea. Dualisme dunia dalam teori pengetahuan diteruskannya ke dalam praktik hidup. Oleh karena kemauan seorang bergantung kepada pendapatnya, nilai kemauannya itu ditentukan pula oleh pendapat itu. dari pengetahuan yang sebenarnya yang dicapai dengan dialektik timbul budi yang lebih tinggi daripada yang dibawakan oleh pengetahuan dari pandangan. Jadinya, menurut plato ada 2 macam budi. Pertama, budi filosofi yang timbul dari pengetahuan dengan pengertian. Kedua, budi biasa yang terbawa oleh kebiasaan orang banyak. Sikap hidup yang dipakai tidak terbit dari keyakinan, melainkan disesuaikan kepada moral orang banyak dalam hidup sehari-hari. Negara Ideal : Pandangan plato tentang negara dan luasnya masih terpaut pada masanya. Ia lebih memandang kebelakang dari pada kemuka. Negara Grik di masa itu ialah kota. Jumlah penduduknya tidak lebih daripada dua atau tiga ribu jiwa. Penduduk kota ialah orang-orang merdeka, yang mempunyai milik tanah terletak diluar kota yang dikerjakan oleh budak-budaknya. Diantara mereka terdapat saudagar, tukang, pandai seni dan pejabat negara. Menurut kebiasaan di waktu itu pekerjaan yang kasar dikerjakan oleh budak belian. Mereka itu tidak dianggap sebagai penduduk sebab tidak merdeka (Hadiwijono, 2006: 43; Hatta, 1986: 106).
Plato berpendapat bahwa dalam tiap-tiap negara segala golongan dan segala orang-orang seorang adalah alat semata-mata untuk kesejahteraan semuanya. Kesejahteraan semua itulah yang menjadi tujuan yang sebenarnya. Dan itu pulalah yang menentukan nilai pembagian pekerjaan. Dalam negara yang ideal itu glongan pengusaha menghasilkan, tetapi tidak memerintah. Golongan penjaga melindungi, tetapi tidak memerintah. Golongan cerdik pandai, diberi makan dan dilindungi, dan mereka memerintah. Ketiga macam budi yang dimiliki oleh masing-masinggolongan, yaitu bijaksana, berani dan menguasai diri dapat menyelenggarakan dengan kerjasama budi keempat bagi masyarakat, yaitu keadilan. Sumbangan bagi Perkembangan Logika : Pertama, karangan-karangan yang ditulisnya dalam masa mudanya yaitu waktu sokrates masih hidup sampai tak lama sesudah ia meninggal. Buku-buku yang di tulisnya pada masa itu adalah Apologie, Kriton, Ion, Protagoras, Laches, Politeia Buku I, Lysis, Charmides dan Euthyphron. Dalam seluruh dialog itu plato berpegang pada pendirian gurunya sokrates (Hatta, 1986: 107).
Dalam buku-buku itu tidak terdapat buah pikiran plato yang timbul kemudian yang menjadi corak filosofinya., yaitu ajaran tentang idea. Cita-cita yang dikemukakan dalam tulisannya di masa itu ialah pembentukan pengertian dalam daerah etik. Kedua, buah tangan yang ditulisnya dalm masa yang terkenal sebagai “masa peralihan”. Masa itu disebut juga masa Negara, yaitu waktu plato tinggal sementar disitu. Dialog-dialog yang diduga ditulisnya dalam masa itu ialah Gorgias, Kratylos, Menon, Hippias dan beberapa lainnya. Perkembangan pikiran plato keluar garis sokrates. Pada vajaran sokrates, yang mencari pengertian disambungkan pendapat filosofi sebelumnya terutama pendirian orfisisme dan Pythagoras. Dalam beberapa dialog tergambar pendapat plato ten tang hidup sebelum lahir ke dunia dan tentang jiwa yang hidup selama-lamanya. Disini terdapat permulaan pikirannya ke jurusan idea, yang kemudian menjadi pusat pandangan filosofinya. Ketiga, buah tangan yang disiapkannya di masa matangnya. Tulisannya yang terkenal dari waktu itu dan kesohor sepanjang masa ialah Phaidros, Symposion, Phaidon dan Politeia Buku II-X. ajaran tentang idea menjadi pokok pikiran plato dan menjadi dasar bagi teori pengetahuan, metafisika, fisika, psikologi, etik, politik, dan estetika. Terutama dalam Phaidros menjadi perkembangan pikiran yang terang. Berdasarkan pandangan agama yang terpengaruh oleh ajaran orfisme dan phytagoras, ia menggambarkan sifat dan nasib jiwa manusia. Dalam bukunya politea (republik) yang diciptakannya dari masa ke masa tergambar perkembangan filosofinya dari mencari penetapan ten tang pengertian sampai pad memahamkan keadaan dalam dunia yang lahir dari jurusan idea yang kekal. Keempat, buah tangan yang ditulis pada hari tuannya (Hatta, 1986: 94).
Dialog-dialog yang dikarangnya pada masa itu sering disebut Theaitetos, Parmenides, Sophistos, Politicos, Philibos, Timaios, Kritias, dan Nomoi. Tetapi ada ahli-ahli yang menyaksikan keaslian dari beberapa dialog itu. apakah dialog no.2,3,4 dan 5 dalam urutan ini benar-benar ditulis oleh plato?. Mungkin dialog-dialog itu dikarang oleh murid-muridnya berdasarkan uraian dan pelajaran yang diberikannya. Ada suatu perubahan yang nyata dalam uraiannya pada masa itu. idea, yang biasanya meliputi seluruhnya, terletak sedikit kebelakang. Kedudukan logika lebih terkemuka. Perhatian kepada keadaan yang lahir dan kejadian dalam sejarah bertambah besar. Untuk memahamkan isi Timaios seluruhnya orang harus mempunyai pengetahuan lebih dahulu ten tang ilmu-ilmu special, terutama ilmu alam dan ilmu kesehatan. Dengan uraian yang terbentang dalam dialog itu plato membawa pembacanya ke daerah kosmologi dan filosofi alam. Dialog itu menunjukkan bahwa plato bukan saja seorang filosof yang menguasai seluruh filosofi Grik sebelumnya, tetapi juga mempelajari berbagai ilmu special yang diketahui pada masanya. Dalam pikirannya semua itu tersusun kea rah satu tujuan. Timaios boleh dikatakan suatu ajaran teologi tentang lahirnya dunia dan pemerintahan dunia. Paham plato ten tang pembentukan dunia ini berdasar pada pendapat Empedokles, bahwa ala mini tersusun dari empat anasir yang asal, yaitu api, udara, air, dan tanah. Tetapi ten tang proses pembangunan seterusnya berlanan pendapatnya. Menurut Plato Tuhan sebagai pembangun alam menyusur anasir yang empat itu dalam berbagai bentuk menjadi satu kesatuan. Kedalam bentuk yang satu itu Tuhan memasaukjkan jiwa dunia yang akan menguasai dunia ini. Oleh karena itu pembangunan dunia sekaligus menentukan sikap hidup manusia dalam dunia ini (Hatta, 1986: 95-96).
Plato mungkin merasakan kemudian, bahwa ideal itu sukar dilaksanakan. Dalam bagian kedua hidupnya ia berpaling ke jalan yang kedua. Sungguhpun bangunan-bangunan tiruan dari idea jauh lebih sempurna, sikap hidup diatur sedemikian rupa, supaya dunia yang lahir “ikut serta” pada idea. Cara itu dibentangkan di dalam bukunya Republik, dengan menciptakan suatu negara ideal.

VI
Kesimpulan

Plato dilahirkan di Athena pada tahun 472 SM dan meninggal pada tahun 347 SM dalam usia 80 tahun. Plato adalah murid Socrates yang paling terkemuka yang sepenuhnya menyerap ajaran-ajaran pendidikan Socrates, kemudian mengembangkannya sistem filsafatnya sendiri secara lengkap. Plato mendirikan sebuah akademi untuk study tentang gagasan-gagasan yang akhirnya telah tumbuh menjadi suatu universitas pertama di dunia. Sejak berumur 20 tahun Plato mengikuti pelajaran Socrates. Pelajaran itulah yang memberinya kepuasan baginya. Pengaruh Socrates semakin hari semakin mendalam padanya. Ia menjadi murid Socrates ayang setia sampai pada akhir hidupnya Socrates tetap menjadi pujaannya. Plato mempunyai kedudukan yang istimewa sebagai seorang filosuf.
Ia pandai menyatukan puisi dan ilmu, seni, dan filosofi. Menurut Plato ada dua macam budi: Pertama budi filosofi yang timbul dari pengetahuan dengan pengertian. Kedua budi biasa yang terbawa oleh kebiasaan orang banyak. Sikap hidup yang dipakai tidak terbit dari keyakinan diri sendiri melainkan disesuaikan kepada moral orang banyak dalam hidup sehari-hari. Negara menurut Plato adalah manusia dalam ukuran besar. Jadi seorang tidak dapat mengharapkan negara menjadi baik apabila ada beberapa orang kelakuannya tidak bertambah baik. Plato membagi penduduk dalam tiga golongan; golongan bawah, golongan tengah, dan golongan atas. Buah tangan Plato atau tulisan Plato hampir rata-rata berbentuk dialog. Jumlahnya tidak kurang dari 34 buah. Belum dihitung lagi tulisan-tulisannya yang berupa surat dan puisi. Yang sulit ialah menentukan waktu dikarangnya. Semuanya ditulis dalam masa lebih dari setengah abad.Bentuk negara yang baik menurut Plato, harus disesuaikan dengan keadaan yang nyata.
Negara harus berfungsi sebagai dokter, yang dapat memberikan obat yang bermacam-macam kepada pasiennya. Jikalau memang sudah ada negara yang telah memiliki undang-undang dasar, pemerintahan yang paling baik adalah monarki, sedangkan yang paling jelek adalah demokrasi. Sebaliknya, jikalau masih ada negara yang belum memiliki undang-undang dasar, pemerintahan yang terbaik adalah demokrasi, sedangkan yang terjelek adalah monarki, sebab demokrasi di sini dapat mencegah adanya penyalahgunaan kekuasaan.

Daftar Pustaka
Bagus, Lorens. 1996. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Beoang, Konrad Kebung. 1999. Plato : Jalan Menuju Pengetahuan yang Benar. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Bertens, K. 1997. Sejarah Filsafat Yunani.Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Darmodiharjo, Darji., Shidarta. 2004. Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Friedrich, Carl Joichim. 2004. The Philosophy of Law in Historical Perspective. Raisul Muttaqien (penj.). filsafat Hukum: Perspektif Sejarah. Bandung: Nuansa dan Nusamedia.
Hadiwijono, Harun. 2006. Sari Sejarah Filsafat Barat 1. Yogyakarta: Kanisius.
Hatta, Mohammad. 1986. Alam Pikiran Yunani. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Huijbers, Theo. 2006. Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta: Kanisius.
--------------------. 2007. Filsafat Hukum. Yogyakarta: Kanisius
Kusumohamidjojo, Budiono. 2004. Filsafat Hukum: Problematik Ketertiban yang Adil. Jakarta: Grasindo.
Rasjidi, Lili., Thania Rasjidi. 2007. Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Russel, Bertrand. 2004. History of Western Philosophy and its Connection with Political and Social Circumstances from the Earliest Times to the Present Day. Sigit Jatmiko, Agung Prihantoro, Imam Muttaqien, Imam Baihaqi, Muhammad Shodiq (Penj.). Sejarah Filsafat Barat: Kaitanya dengan Kondisi Sosio-politik zaman kuno hingga sekarang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Speake, Jennifer. 1984. A Dictionary of Philosophy. London: Pan Books Ltd. 

1 komentar: