Selasa, 19 Januari 2010

SIMBOLISME DALAM ARSITEKTUR RUMAH BUGIS (SUATU TINJAUAN FILOSOFIS)

I
Pendahuluan
Rumah panggung kayu mewakili sebuah tradisi yang bertahan lama bagi masyarakat Sulawesi Selatan, tradisi yang juga tersebar luas di dunia Melayu. Bentuk dasar rumah adalah sebuah kerangka kayu di mana tiang menahan lantai dan atap, dengan dan lantai dan atap diri pelbagai bahan, keaneka-ragaman bahan kian meningkat dalam dunia kontemporer setelah pendirian rumah menjadi kian dimodifikasi. Rumah adat kayu mencerminkan sebuah estetika tersendiri yang menjadikannya objek budaya materil yang indah (Robinson, 2005: 271-272).
Namun, rumah-rumah di Sulawesi Selatan lebih dari sekedar tempat berteduh bagi penghuninya, atau objek materil yang indah dan menyenangkan. Rumah adalah ruang sakral di mana orang lahir, kawin dan meninggal dan di tempat ini pula kegiatan-kegiatan sosial dan ritual tersebut diadakan. Terbuat dari bahan-bahan alami, rumah juga memiliki ciri sakral yang diwakili oleh sifat alami tersebut. Praktik kehidupan religius sehari-hari dari komunitas Islam di Sulawesi Selatan menghadirkan hibriditas yang lazim ada di sebuah provinsi kepulauan yang selama berabad-abad telah terlibat dalam lintas perdagangan yang ramai di Asia Tenggara, dan jalur perdagangan dengan Afrika, Eropa dan China, dan memiliki persamaan dengan tradisi-tradisi sinkretis lainnya di nusantara (Robinson,2005: 272).
Rumah dalam tulisan ini adalah rumah sebagai tempat tinggal orang Bugis, dapat dibedakan berdasarkan status sosial orang yang menempatinya. Oleh karena itu, di daerah ini dikenal istilah Sao Raja (salassa) dan Bola. Nama Sao Raja yang berarti rumah besar adalah rumah ditempati oleh keturunan raja atau kaum bangsawan, sedangkan Bola adalah rumah yang ditempati oleh rakyat biasa (Yunus, 1999: 99).
Pada dasarnya kedua jenis rumah ini tidak mempunyai perbedaan yang mendasar bila dilihat dari segi bangunan, tetapi berbeda karena status penghuninya. Rumah Sao Raja karena ditempati oleh keturunan raja atau bangsawan, maka selain bentuknya lebih besar juga diberikan identitas-identis tertentu yang mendukung tingkat status sosial dari penghuninya. Misalnya, timpanon yang berjumlah 3-5 tingkat, hiasan yang digunakan dan lain sebagainya.
Tipologi kedua rumah ini adalah sama-sama rumah panggung. Lantainya mempunyai jarak tertentu dengan tanah, sedangkan denah rumah tersebut keduanya sama pula, yakni empat persegi panjang. Perbedaannya adalah Sao Raja dalam ukuran yang lebih besar, sedangkan Bola dalam ukurannya yang lebih kecil (Anwar, 2007: 76). Tipologi ini yang merupakan tipologi umum berkembang di wilayah nusantara nampak mempunyai kaitan dengan keamanan bagi penghuninya.
Hal ini sejalan dengan yang dikemukan Yudoseputro (1993: 2) bahwa rumah panggung berfungsi sebagai tempat tinggal yang aman dari gangguan binatang. Bentuk rumah panggung menurut kenyataannya selalu berubah karena manusia mampu meningkatkan fungsi rumah karena pengalaman hidupnya sebagai makhluk pencipta. Rumah orang Bugis, baik Sao Raja maupun Bola, terdiri dari tiga bagian. Ketiga bagian itu adalah Awa Bola, Ale Bola, dan Rakkeang. Awa Bola adalah kolom rumah yang terletak pada bagian bahwa, antara lantai dengan tanah. Sedangkan Ale Bola adalah badan rumah yang terdiri dari lantai dan dinding. Ale Bola ini terletak antara lantai dan loteng rumah. Rakkeang merupakan bagian rumah paling atas. Bagian ini terdiri dari loteng dan atap rumah.
Dari asumsi di atas, maka tulisan ini akan melihat Bagaimana makna simbolik dan fungsioanl dari konstruksi rumah panggung orang Bugis sebagai sebuah karya seni? Hal ini dimaksudkan untuk memberi pemahaman tentang makna dari konstruksi tersebut secara filosofis.
II
Estetika dan Simbolisme
Kata simbol berasal dari kata Yunani, yaitu symbolos yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang. Roland Barthers mengemukakan bahwa secara umum segala sesuatu signifikan adalah sebuah tanda yang diciptakan untuk menyampaikan suatu informasi, atau pesan, atau arti tertentu. Sementara dalam hal simbol, Doede Nauta berpendapat bahwa setiap tanda (melalui suatu yang khusus) yang menentukan isi komunikasi antar manusia berdasarkan konvensi, adalah simbol (Said, 2004: 5).
Dalam wacana dunia kesenirupaan dan budaya benda, pembicaraan estetika yang penting adalah mengupas simbolisme. Hal itu karena manusia bukan saja sebagai makhluk pembuat alat, melainkan juga sebagai makhluk pembuat simbol melalui bahasa-bahasa visual. Cassirer (1987: 208) mengatakan bahwa keindahan tergolong gejala manusiawi yang sangat jelas penampakkannya, untuk menjelaskan sifat dan kodratnya tidak diperlukan teori-teori metafisika yang kompleks dan rumit.
Michael Langmann (Said, 2004: 3), mengatakan bahwa setiap karya dari manusia dilaksanakan dengan suatu tujuan, yaitu bahwa setiap benda dari alam di sekitarnya yang diolah dan dikerjakan oleh manusia mangandung dalam dirinya suatu nilai tertentu. Nilai itu bermacam-macam, misalnya nilai kegunaan, ekonomi, sosial, dan atau keindahan. Dengan demikian berkarya berarti merealisasikan gagasan yang dianggap bernilai, di mana nilai itu sendiri telah hadir sebelum hasil karya tersebut diciptakan. Dengan kata lain, dalam setiap hasil karya terwujudlah suatu ide dari manusia. Setiap benda budaya paling sedikit menandakan suatu nilai tertentu. Dalam upaya mencapai hasil yang optimal, untuk menunjukkan dan gagasan-gagasan penciptanya.
Dalam lingkup kesenian, diyakini tetap tidak terlepas dari logika, yag kemudian dikenal sebagai logika imajinasi. Di dalam percaturan filsafat, logika imajinasi tidak bermartabat sederajat degan logika intelek murni (Sachari, 2002: 15). Kalaupun ada teori kesenian, hanya bisa berupa gnoseologia inferior, suatu analisis tentang bagian indrawi, yaitu bagian yang dinilai lebih rendah daripada pengetahuan manusia. Di lain pihak, seni dapat dilihat sebagai lencana bagi kebenaran moral. Seni diartikan sebagai suatu kiasan, suatu ibarat, maksud etis yang diselimuti bentuk indrawi. Dalam tafsiran teoretis ataupun tafsiran moral, seni tidak memiliki niail dirinya sendiri. Dalam hierarki kehidupan manusia, seni menjadi sekedar tahap persiapan sebagai “bawahan dan pelayanan bagi beberapa tuan” (Cassirer, 1987: 209).
Gagasan-gagasan Cassirer tentang bentuk simbolis adalah bahwa karya estetis bukanlah semata-mata reproduksi dari realitas yang selesai. Seni merupakan salah satu jalan ke arah pandangan objektif atas benda-benda dan kehidupan manusia. Seni bukannya imitasi realitas, melainkan penyingkapan realitas. Tentu saja, alam yang disingkapkan melalui seni tidak sama artinya dengan kata alam sebagaimana digunakan oleh ilmuwan (Cassirer, 1987: 216).
Perbedaan tajam antara seni objektif dengan seni subjektif, dan seni representatif dengan seni ekspresif, sukar dipertahankan. Dekorasi Parthenon atau Misa karya Bach, Kapel Sistine Karya Michaelangelo, atau sajak Leopardi, sonata Beethoven atau novel Dostoievski tidak semata-mata representatif, tidak juga semata-mata ekspresif. Namun bagi Cassirer, karya-karya itu bersifat simbolis dengan makna baru yang lebih mendalam (Sachari, 2002: 15).
Pandangan yang demikian tersebut sebagai titik berangkat dalam tulisan ini. Hal ini dilakukan bahwa dalam konstruksi bangunan rumah panggung orang Bugis. Tidak hanya memberi representatif terhadap karya seni manusia, tetapi juga membawa simbol-simbol kehidupan kosmologi manusia Bugis. Bentuk rumah, susunan, ruang dalam rumah tidak hanya fungsional tapi juga memiliki makna simbolis dari setiap ruang dan susunan dari rumah terebut.
Sejalan dengan pemikiran Cassirer, Langer (Suchari, 2002: 18), mengatakan bahwa simbol tidak bergantung pada hukum yang mengatur perhubungan unsur-unsurnya, tetapi pada intiusi. Jenis simbol inilah yang disebutnya sebagai simbol presentasional. Simbol macam ini tidak berupa konstruksi yang dapat diuraikan ke dalam unsur-unsurnya, tetapi suatu kesatuan bulat dan utuh. Simbol tersebut dapat menjadi unsur dari suatu simbol diskursif. Sebagai unsur, simbol presentasional tak dapat diuraikan lagi ke bagian lain yang lebih kecil. Simbol representasional tak perlu harus menjadi unsur saja, namun dapat berdiri sendiri sebagai simbol yang penuh, bukan sebagai suatu konstruksi, bukan pula suatu unsur dari suatu konstruksi atau susunan. Simbol semacam itulah yang terdapat dalam kreasi seni atau karya estetik.
Teori estetik yang dimukakan Langer merupakan pemikiran lanjutan dari filsafat simbol. Langer dalam hal ini masih searah dengan Ernst Cassirer yang pernah menjadi gurunya dengan beranggapan bahwa simbol merupakan seluruh kegiatan mental manusia. Bahkan Cassirer (1987: 39), mengatakan bahwa manusia hidup dalam suatu dunia simbolis. Bahasa, mite, seni, dan agama adalah bagian-bagian dunia simbol ini. Dengan demikian kita akan mendefinisikan manusia sebagai animal symbolicum. Inilah jalan baru untuk memahami manusia, jalan ke arah peradaban.
III
Kepaduan dalam Makna Simbolis dan Fungsi Rumah Bugis
Para filsuf awal ketika membicarakan tentang seni, maka mereka mengaitkannya dengan apa yang mereka sebut ‘keindahan’. Dan kemudian dikenallah pengetahuan ini sebagai filsafat keindahan (Sumardjo, 200: 24), termasuk di dalamnya keindahan alam dan keindahan karya seni. Jadi, objek materil filsafat seni adalah mempersoalkan karya seni atau benda seni atau artefak yang disebut seni (Sumardjo, 2000: 25).
Lebih lanjut Sumardjo (2000: 22) mengatakan bahwa konteks filsafat seni Indonesia, peleburan diri (kehilangan kesadaran diri) dalam keindahan karya seni adalah syarat mutlak dalam mencapai taraf kebenaran dan susila dunia religius para dewa dan roh. Pengalaman seni identik dengan pengalaman religius. Nilai seni setaraf dengan nilai religius. Argumentasi ini menguatkan tentang bagaimana konstruksi sebuah karya seni—rumah panggung manusia Bugis, memiliki makna simbolis sekaligus memiliki sisi fungsional di dalamnya.
Pelras (2006: 265) mengatakan bahwa rumah tradisional Bugis merupakan contoh model rumah Asia Tenggara, yaitu rumah panggung dari kayu, yang atapnya berlereng dua, dan kerangkanya berbentuk huru “H” terdiri dari tiang dan balok yang dirakit tanpa pasak atau paku; tianglah yang menopang lantai dan atap sedangkan dinding hanya diikat pada tiang luar.
Pada dasarnya, rumah tersebut memiliki atap (pangate’) dua latar yang disatukan dengan sebuah bubungan lurus (alekke’). Dindingnya (renring) terbuat dari bahan ringan, sementara lantainya (salima) berjarak sekitar dua meter—kadang-kadang lebih—dari permukaan tanah, dan kolong rumah (awa bola) biasanya dibiarkan terbuka. Rangka rumah terbuat dari sambungan kayu tanpa menggunakan pasak atau paku (suatu teknik yang tergantung kepada tersedianya alat pertukangan yang dibutuhkan, sehingga berhubungan langsung pula dengan perkembangan kepandaian pengolahan besi penduduk setempat). Tiang rumah (alliri) bertumpu di atas tanah dan berdiri hingga ke loteng serta menopang berat atap. Pada setiap tiang dibuat lobang segi empat untuk menyisipkan balok pipih penyangga lantai (arateng) dan balok pipih penyangga loteng (ware’), yang menghubungkan panjang rangka rumah. Selain itu, pada setiap tiang dibuat pula lubang segi empat tepat di bawah lubang tadi untuk menyisipkan balok pipih yang menyilang di bawah penyangga lantai (pa’tolo’ri awa) dan balok pipih yang menyilang di bawah penyangga loteng (pa’tolo’ ri ase’), yang menghubungkan lebar rangka rumah.
Rumah Bugis memiliki struktur dasar yang terdiri dari tiga kali tiang (tiga barisan tiang memanjang dan tiga baris melebar) berbentuk persegi panjang dengan satu tiang di tiap sudutnya, dan pada setiap sisi terdapat satu tiang tengah, serta tepat di tengah persilangan panjagn dan lebar terdapat tiang yang disebut “pusat rumah” (posi’ bola). Umumnya, rumah orang biasa terdiri atas empat tiang untuk panjang dan empat tiang untuk lebar rumah. Pada sisi panjang (bagian samping badan rumah) biasanya ditambahkan tamping, yakni semacam serambi memanjang yang lantainya sedikit lebih rendah, dengan atap tersendiri; pintu masuk bagian depan berada di ujung depan tamping dan—jika ruang dapur tidak terpisah—dapurnya berada di ujung belakang tamping. Kalaupun ada tambahan lain, dengan rancangan lebih kompleks, bentuk segi empat tetap jadi pola dasar (Pelras, 2006: 268).




Gambar rumah Bugis: 1. Rakkeang (dunia atas), 2. Ale Bola (dunia tengah), 3. Awa Bola (dunia bawah)

Rumah orang Bugis terdiri dari tiga bagian. Ketiga bagian itu adalah Awa Bola, Ale Bola, dan Rakkeang. Konstruksi ini bagi orang Bugis memiliki nilai mitis. Dan bila didekati dalam konsep struktural rumah tradisional Bugis, maka secara struktural fungsional dipahami sebagai berikut: Pandangan kosmologis suku Bugis mengganggap bahwa makrokosmos (alam raya) ini bersusun tiga tingkat yaitu: Boting langi’ (dunia atas), Ale Kawa (dunia tengah), dan Uri liyu (dunia bawah), dan segala pusat dari ketiga bagian alam ini adalah Boting langi’ (langit tertinggi) tempat Dewata SeuwaE (Tuhan Yang Maha Kuasa) bersemayam. Pandangan ini diwujudkan dalam bangunan rumahnya yang dipandang sebagai mikrokosmos. Oleh karena itu pula, rumah tempat tinggal orang Bugis dibagi pula atas tiga tingkatan, yaitu:
1. Rakkeang (loteng, kepala)
2. Alle Bola (badan rumah)
3. Awa Bola (kolong rumah, kaki) (Yunus, 1999: 198; Anwar, 2007).
Pandangan tiga tingkat rumah Bugis ini, sebagai bentuk ekspresi penyembahan kepada tiga dewa yang menguasai tiga dunia dalam pandangan Bugis. Ketiga dewa itu adalah: Dewa Langi, yaitu dewa yang menguasai langit, Dewa Malino yaitu dewa yang menguasai bumi dengan segala isinya, dan Dewa UwaE yang menguasai tanah, sungai, dan laut (Yunus, 1999: 198). Ketiga dewa ini merupakan dewa yang dihormati oleh suku Bugis dan dipercaya hubungan yang terjalin dengan baik antara umat dengan dewa akan aman dan sejahtera. Sebaliknya apabila hubungan baik itu hancur akibat kesalahan manusia kan disusul oleh azab yang nampak dalam bencana alam, wabah, gempa bumi, kemarau panjang dan lain-lain.
Oleh karena itu, agar hubungan umat dengan dewa tetap baik, maka perlu ada tata laku penyembahan kepada tiga dewa tersebut. Dalam rumah Bugis penyembah Dewa Langi’ diadakan di toleng rumah (rakkeang) dengan sesajen. Rakkeang sebagai tempat yang tertinggi. Penyembahan Dewa Malino dianggap berdiam di Ale Bola (badan rumah) juga dalam bentuk sesajen. Begitu pun Dewa UwaE, penyembahannya dalam bentuk sesajen dan dianggap bersemanyam di Awa Bola (kolong rumah).
Dalam rumah Bugis, umumnya upacara-upacara keagamaan dilakukan pada bagian ale bola (badan rumah), karena bagian ini dianggap sebagai dunia (alam semesta—lino). Dalam kosmogonis suku Bugis, lino atau alam semesta digambarkan dalam bentuk sulapa eppa’ (segi empat belah ketupat) (Anwar, 2007: 439). Sebagai simbol alam raya, adapun upacara-upacara yang biasa dilakukan pada badan rumah ini adalah upacara mendre bola baru (naik rumah baru), upacara mappanre tau mangngideng, upacara mattoana isi (menyambut tumbuhnya gigi), upacara mappano bine (menabur benih) untuk menghormati Indo Pare (Dewi Sri—Dewi Padi), upacara mappanre Dewata (memberi makan Dewata), dan lain sebagainya.
Beberapa upacara yang dilakukan pada bagian Ale Bola (badan rumah) itu, sesajennya dipersembahkan (diserahkan) atau dalam bahasa Bugis Massorong sokko patanrupa (menyerahkan nasi ketan dalam empat warna) sebagai simbol dari Sarwa Alam yang terdiri dari Air, Api, Udara, dan Tanah (Anwar, 2007: 439). Massorong dilakukan dalam dua bentuk yaitu Massorong Lao iase= penyerahan ke atas diperuntukkan kepada Dewa Langi yang berada di Rakkeang (loteng rumah) dan Massorong Lao riawa atau penyerahan sesajen ke bawah diperuntukkan pada Dewa UwaE di bawah rumah (kolong rumah) (Yunus, 1999: 200).
Ruang pada rumah Bugis dikenal dengan tiga ruangan yang disebut Latte, masing-masing mempunyai fungsi. Ketiga ruang tersebut adalah: Pertama, Ruang Depan, yang terletak paling depan badan rumah, dan biasanya disebut Lontang Risaliweng. Kata lontang biasa pula disebut Latte. Raung depan ini mempunyai beberapa fungsi dan kehidupan orang Bugis seperti menerima tamu, tempat tidur tamu, tempat musyawarah, tempat menyimpan benih dan tempat membaringkan mayat sebelum diberangkatkan ke kubur. Berdasarkan fungsi di atas, ruang depan nampaknya mempunyai arti penting dalam rangka penghuni rumah berkomunikasi dengan orang luar. Oleh karena itu, raung depan ini sudah seharusnya pula memenuhi syarat kebersihan, keindahan dan keluasan. Syarat keluasan karena raung depan juga berfungsi untuk bermusyarah ataupun upacara-upacara tertentu yang memerlukan tempat yang lebih luas. Tampaknya aktivitas-aktivitas kekeluargaan tidak banyak dilakukan di ruangan ini.
Kedua, Ruang Tengah, yang terletak pada bagian tengah rumah disebut Lontang Ritengnga atau Latte ritengnga. Ruangan ini berfungsi sebaai tempat tidur kepala keluarga beserta istri dan anak-anak yang belum dewasa. Misalnya raung makan terletak pada ruang ini. Di samping itu seandainya seorang ibu harus melahirkan, maka ia harus melahirkan di sini pula. Nampaknya hubungan sosial antara anggota rumah tangga frekuensinya lebih banyak berlangsung di ruang tengah ini. Oleh karena itu, suasana kekekuargaan yang informal lebih terlihat di ruangan ini daripada di ruang depan.
Ketiga, Ruang Belakang, yang merupakan ruangan ketiga pada rumah orang Bugis disebut Lontang rilaleng atau Latte rilaleng. Raungan ini merupakan tempat tidur anak gadis atau para orang tua seperti nenek atau kakek. Fungsi ruang ini memperlihatkan bahwa segi pengamanan dari anggota rumah tangga. Orang yang telah lanjut usia ataupun gadis remaja, sesuai dengan kodratnya memerlukan perlindungan yang lebih baik. Ruang belakang dibandingkan dengan ruang tengah dan depan, tempatnya lebih aman dan terlindungi dari serangan ataupun gangguan (Yunus, 1999: 108-109).
Selain dari itu juga rumah Bugis juga memiliki tambahan ruang, yaitu Lego-lego atau Dapureng (dapur). Disebut lego-lego apabila letaknya di depan. Tetapi apabila ruangan tambahan itu terletak di belakang atau di samping, ruangan itu disebut dapureng yang berarti dapur.
Lego-lego berfungsi sebagai tempat sandaran tangga depan, tempat duduk tamu sebelum masuk rumah, tempat istirahat pada sore hari, dan tempat menonton pada waktu ada upacara di halaman depan rumah. Pada lego-lego ini tidak terlihat fungsinya untuk melayani kebutuhan pokok anggota rumah tangga.
Berlainan dengan itu, dapureng atau dapur yang terletak di samping atau di belakang mempunyai fungsi yang lebih utama untuk melayani kebutuhan anggota rumah tangga. Tempat ini misalnya berfungsi untuk memasak makanan kebutuhan rumah tangga. Di samping segala peralatan yang diperlukan dalam kegiatan kerumahtanggan terutama peralatan dapur disimpan di ruangan ini.
Demikianlah gambaran simbolisme dan fungsi dari rumah Bugis. Sumardjo (2000: 128), mengatakan bahwa seni itu menghadirkan sesuatu, baik sesuatu yang fisikal, spiritual, mental dan sosial. Hal yang demikian nampak pada konstruksi rumah Bugis. Di mana bentuk dan ruang pada rumah Bugis mewakili dari pelbagai unsur nilai, nilai fungsional dan nilai spiritual nampak padanya.
Pemikiran yang demikian pula telah lama dikemukan oleh Plato yang mengacu pada 2 dunia. Dunia atas dan dunia bawah. Dunia idea adalah dunia yang ada di atas dan belum bermanifestasi. dunia atas sebagai paradigma dari dunia bawah. Dunia bawah merupakan tiruan dari dunia atas, penyajian kembali dari dunia idea. Intuisi dan aspirasi adalah penyambung antara dunia atas dan dunia bawah. Karya seni adalah representasi dari idea sehingga satu karya seni dianggap tiruan dari karya yang lain (Mimesis). Rumah Bugis mencerminkan idea mereka tentang kosmos, sehingga konstruksi rumah Bugis mengakomodasi dari unsur-unsur kosmologi mereka dengan pembagian ruang yang ada pada bangunan rumah tersebut.
IV
Kesimpulan
Karya seni tidak hanya menghasilkan sesuatu yang indah tetapi memiliki makna simbolis dan fungsional di dalamnya. Hal tersebut nampak pada konstruksi rumah Bugis. Di mana nilai idea direpresentasikan ke dunia riil sebagai wujud pemaknaan akan hidup yang religius dan memberikan manfaat pada pelaku seni tersebut. Bangunan rumah tersebut dibuat tidak hanya memberi fungsi tetapi juga memberi nilai estetik yang pada dasarnya merupakan bentuk prilaku spiritual para pemiliknya. Hal tersebut terlihat pada bagaimana mereka membuat ruang sesuai dengan pandangan kosmologis mereka.
Rumah Bugis dibangun memiliki makna simbolis yang sangat kuat, di mana konstruksi rumah dibangun dalam tiga ruang yang mewakili tiga makna. Makna yang diwakili tersebut merupakan cerminan akan tiga dunia yang diyakini manusia Bugis, yaitu dunia atas, dunia tengah dan dunia bawah. Sedangkan secara fungsional, rumah Bugis memiliki fungsi yang menjelaskan bagaimana kehidupan itu harus dibangun dan sosialitas mereka terhadap keluarga, masyarakat dan lingkungan mereka. Fungsi ruang-ruang dalam rumah Bugis juga mewakili konsep kosmologis mereka. Ruang Rakkeang dijadikan sebagai tempat menyimpan padi, jagung dan hasil panen dari pertanian mereka. Ruang Ale Bola dijadikan tempat tinggal bagi pengguninya. Dan ruang Awa Bola dijadikan tempat untuk alat-alat pertanian dan segala kebutuhan perekonomian mereka.
Analisis simbolis yang dilakukan dalam melihat karya seni berupa rumah Bugis tersebut sangat membantu dalam mengungkap idea sebuah karya seni. Rumah Bugis yang dilihat dari pendekatan simbolis telah memberi gambaran yang lebih komprehensif tentang bagaimana sebuah karya seni dinilai. Karya seni tidak hanya dinilai dari segi keindahan semata, tetapi penilaian tersebut sepatutnya pula melihat makna dibalik mengapa sebuah karya seni dibuat. Dan hal demikian menjadi padu dalam karya seni orang Bugis berupa rumah panggung. Di mana unsur estetika nampak dan makna-makna simbolis juga sangat kuat di dalamnya.

Daftar Pustaka
Anwar, Idwar. 2007. Ensiklopedi Kebudayaan Luwu. Makassar: Pustaka Sawerigading.
Cassirer, Ernst. 1987. Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esei tentang Manusia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Pelras, Christian. 2006. Manusia Bugis. Jakarta: Nalar Press bekerja sama dengan Forum Jakarta-Paris, EFEO.
Robinson, Kathryn. 2005. “Tradisi Membangun Rumah di Sulawesi Selatan” dalam. Kathryn Robinson dan Mukhlis PaEni. Tapak-Tapak Waktu: Kebudayaan, Sejarah, dan Kehidupan Sosial di Sulawesi Selatan. Makassar: Ininnawa.
Sachari, Agus. 2002. Estetika: Makna, Simbol dan Daya. Bandung: Penerbit ITB.
Said, Abdul Azis. 2004. Toraja: Simbolisme Unsur Visual Rumah Tradisional. Yogyakarta: Ombak.
Sumardjo, Jakob. 2000. Filsafat Seni. Bandung: Penerbit ITB.
Yudoseputro, Wiyoso. 1986. Pengantar Seni Rupa Islam di Indonesia. Bandung: Penerbit Aksara.
Yunus, Pangeran Paita. 1999. Unsur-Unsur Kemahiran Lokal (Local Genius) dalam Ragam Hias Bugis: Kajian Ragam Hias pada Rumah Tradisional Bugis Sulawesi Selatan dalam Unsur-Unsur Estetika Bentuk. Tesis pada Program Magister Seni Rupa dan Desain, Program Pascasarjana, Institut Teknologi Bandung, Tahun 1999.

1 komentar: